Penulis : Haskara Fauzan
Warga Ciputat dan Pamulang kini tak lagi bisa membuka jendela dengan tenang. Bau menyengat menyelimuti udara, tumpukan sampah berserakan di kolong jalan layang, dan armada truk sampah yang rusak dibiarkan mogok di pinggir jalan. Kota yang dulu dipromosikan sebagai penyangga ibu kota yang "modern dan cerdas" kini terjerembab dalam darurat sampah.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyegel TPA Cipeucang satu-satunya tempat pembuangan akhir di Tangerang Selatan karena terbukti masih menggunakan metode open dumping, bentuk pembuangan sampah paling primitif yang telah dilarang oleh UU Nomor 18 Tahun 2008. Langkah ini memang tepat, tetapi juga membuka tabir kebobrokan sistem pengelolaan sampah di Tangsel yang selama ini ditutupi.
Lebih dari seribu ton sampah per hari dihasilkan oleh warga Tangsel. Tanpa TPA aktif, seluruh sistem menjadi lumpuh. Namun, masalah ini bukan semata akibat penyegelan KLHK. Ini adalah akumulasi ketidaksiapan infrastruktur, pengabaian terhadap peringatan, dan korupsi anggaran publik.
Investigasi Kejaksaan Tinggi Banten menemukan dugaan korupsi dalam proyek pengelolaan sampah yang merugikan negara hingga Rp 21 miliar. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk membenahi truk dan fasilitas pengolahan justru diselewengkan. Masyarakat, sebagai pembayar retribusi, berhak bertanya: ke mana larinya iuran Rp 20.000 hingga Rp 30.000 per rumah per bulan?
Ironisnya, warga kini membuang sampah ke Pasar Cimanggis hanya dengan membayar Rp 2.000.
Ini menunjukkan betapa minimnya kontrol dan transparansi sistem retribusi yang seharusnya dikelola dengan baik oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Ketika negara gagal menyediakan sistem yang adil dan fungsional, warga pun memilih jalan pintas.
Kondisi armada DLH Tangsel pun tidak menunjang. Banyak truk tidak layak jalan, bocor, atau mogok. Dalam kondisi darurat, truk-truk itu tetap dipaksakan beroperasi, memperparah pencemaran di jalan.
Sementara itu, sampah terus menggunung. Di flyover Ciputat, di bantaran kali, bahkan di halaman sekolah. KLHK memberi tenggat 180 hari kepada Pemkot Tangsel untuk membenahi sistem. Namun, tanpa reformasi menyeluruh dalam perencanaan, pengawasan, dan transparansi, waktu Namun, tanpa reformasi menyeluruh dalam perencanaan, pengawasan, dan transparansi, waktu tersebut tidak akan cukup.
Sampah bukan hanya urusan kebersihan, tapi juga soal keadilan, kesehatan, dan integritas pemerintah. Jika krisis ini dibiarkan, Tangsel bukan hanya bau tapi juga gagal sebagai kota yang layak huni.
Tulisan ini adalah pengingat bahwa membangun kota tidak bisa hanya dengan jargon "smart city". Sebuah kota dikatakan berhasil ketika ia mampu mengelola limbah warganya secara adil, aman, dan transparan. Jika tidak, hari ini bau, esok membusuk.