Penulis: JAMRI
(Dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Indragiri dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jambi)
Pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia adalah tonggak penting dalam demokrasi lokal yang memberikan rakyat hak langsung untuk menentukan pemimpin mereka. Sejak diberlakukannya sistem pemilihan langsung pada era reformasi, pilkada telah menjadi simbol kedaulatan rakyat yang berlandaskan semangat demokrasi. Namun setelah Pemerintah dan DPR sepakat mengusulkan dan memasukan dalam daftar program Legislasi Nasional tahun 2025 untuk merevisi terhadap Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada yang kemudian muncul wacana mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menimbulkan kontroversi yang luas.
Perubahan ini didorong oleh alasan efisiensi anggaran dan pengurangan konflik sosial, tetapi juga menuai kritik tajam karena dianggap dapat mengurangi partisipasi langsung masyarakat. Revisi ini memerlukan kajian komprehensif, tidak hanya dari sisi administratif, tetapi juga dalam perspektif konstitusi dan demokrasi untuk memastikan kebijakan tersebut sejalan dengan semangat kedaulatan rakyat.
Landasan Konstitusi dalam Pemilihan Kepala Daerah:
Konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, mengatur bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Namun, frase "dipilih secara demokratis" memberikan fleksibilitas dalam pelaksanaannya, apakah melalui pemilihan langsung oleh rakyat atau melalui DPRD. Menurut Jimly Asshiddiqie, demokrasi yang diatur dalam konstitusi tidak hanya mencakup prosedur formal, tetapi juga prinsip substantif, yakni keterlibatan rakyat dalam proses politik (Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Demokrasi, 2010).
Pemilihan langsung dianggap sebagai implementasi demokrasi partisipatoris yang memberikan ruang kepada rakyat untuk berperan langsung dalam menentukan pemimpin daerah. Saldi Isra menegaskan bahwa mekanisme pemilihan langsung merupakan sarana untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat dan memperkuat legitimasi pemimpin (Saldi Isra, Demokrasi Konstitusional, 2015). Di sisi lain, pemilihan melalui DPRD, meskipun demokratis dalam pengertian formal, sering kali dianggap mengurangi akses rakyat terhadap proses pengambilan keputusan politik.
Relevansi Demokrasi dalam Wacana Revisi:
Demokrasi dalam konteks pilkada tidak hanya soal mekanisme, tetapi juga tentang bagaimana rakyat dapat terlibat secara aktif dalam menentukan masa depan mereka. Efendi Gazali menyoroti bahwa pilkada langsung tidak hanya berfungsi sebagai sarana pemilihan, tetapi juga sebagai pendidikan politik yang efektif bagi masyarakat. Dengan mengikuti proses pemilu, rakyat diajak untuk memahami isu-isu publik dan menilai kualitas kandidat secara langsung (Efendi Gazali, Komunikasi Politik di Era Demokrasi, 2012).
Namun, di sisi lain, pilkada langsung memiliki tantangan, seperti tingginya biaya politik yang sering kali membuka peluang terjadinya politik uang dan konflik horizontal. Menurut Mahfud MD, biaya politik yang tinggi dapat menjadi celah bagi korupsi, karena kandidat yang terpilih sering kali harus “membayar utang politik” setelah memenangkan pemilu (Mahfud MD, Hukum dan Politik di Indonesia, 2011).
Mekanisme pemilihan oleh DPRD dianggap dapat mengatasi masalah tersebut karena prosesnya lebih sederhana dan terpusat. Namun, mekanisme ini justru rentan terhadap praktik politik transaksional, di mana pemimpin daerah lebih tunduk pada kepentingan anggota DPRD daripada melayani masyarakat secara luas. Zainal Arifin Mochtar mengingatkan bahwa pemilihan oleh DPRD berisiko menciptakan pemerintahan yang tidak akuntabel dan mengurangi legitimasi kepala daerah (Zainal Arifin Mochtar, Politik Hukum dan Demokrasi Lokal, 2017).
Perspektif Konstitusi dan Demokrasi terhadap Usulan Revisi:
Dalam perspektif konstitusi, mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD tidak secara langsung, penulis mempunyai pendangan hal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 selama prosesnya tetap demokratis. Namun, demokrasi yang diatur dalam konstitusi Indonesia tidak hanya berorientasi pada prosedur, tetapi juga pada substansi. Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa demokrasi sejati adalah yang memberikan ruang kepada rakyat untuk terlibat langsung dalam proses politik, termasuk pemilihan pemimpin mereka (Jimly Asshiddiqie, Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, 2007).
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam berbagai putusannya juga menekankan pentingnya partisipasi rakyat dalam mekanisme pemilu. Dalam Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, MK menegaskan bahwa pemilu harus menjadi sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan membangun legitimasi pemerintahan yang kuat. Oleh karena itu, setiap perubahan dalam mekanisme pemilu, termasuk pilkada, harus dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap hak politik rakyat dan kualitas demokrasi secara keseluruhan.
Dari perspektif demokrasi, pilkada langsung dianggap lebih mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat karena memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi langsung. Di sisi lain, pemilihan melalui DPRD, meskipun sah secara hukum, dapat mengurangi legitimasi pemimpin di mata rakyat. Efisiensi yang menjadi alasan utama perubahan mekanisme ini tidak dapat dijadikan dasar untuk mengorbankan hak politik rakyat.
Penutup:
Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada yang mengusulkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah isu yang sangat strategis dan memerlukan kajian mendalam dari berbagai perspektif, termasuk konstitusi dan demokrasi. Meskipun secara formal mekanisme ini tidak bertentangan dengan UUD 1945, kebijakan ini berpotensi mengurangi keterlibatan langsung rakyat dalam proses politik, yang merupakan salah satu pilar utama demokrasi.
Pemerintah dan DPR perlu berhati-hati dalam mengambil langkah ini, dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampaknya terhadap legitimasi pemerintahan daerah, akuntabilitas pemimpin, dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi. Diskursus yang melibatkan masyarakat sipil, pakar hukum tata negara, dan akademisi harus dilakukan secara terbuka untuk memastikan bahwa perubahan ini tidak hanya mengedepankan efisiensi administratif, tetapi juga tetap menghormati prinsip kedaulatan rakyat.
Pilkada langsung telah menjadi bagian penting dari demokrasi Indonesia, dan setiap perubahan terhadap sistem ini harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar tidak mengorbankan prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan negara demokrasi.