Penulis ; Jamri
(Dosen Hukum Tata Negara Univeritas Islam Indragiri Tembilahan)
Pembekuan berita acara sumpah advokat bagi Razman Arif Nasution dan M. Firdaus Oiwobo menimbulkan diskursus di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Keputusan ini diambil setelah keduanya terlibat dalam kericuhan persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang dianggap merusak wibawa peradilan. Berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Ambon nomor 44/KPT.W2T-U/HM.1.1.1/II Tahun 2025, berita acara sumpah Razman dinyatakan tidak berlaku. Sementara itu, Ketua Pengadilan Tinggi Banten membekukan berita acara sumpah Firdaus melalui ketetapan nomor 52/KPT.W29/HM.1.1.1/II/2025 (Kumparan. "Berita Acara Sumpah Advokat Razman dan Firdaus Dibekukan, Tak Bisa Lagi Sidang." 13 Februari 2025).
Keputusan ini menimbulkan pertanyaan apakah tindakan tersebut merupakan langkah perbaikan dalam penegakan etika profesi advokat atau justru menjadi ancaman bagi kebebasan profesi ini. Sebagai pilar penting dalam sistem peradilan, advokat memiliki hak dan kewajiban dalam membela klien mereka, tetapi juga harus tunduk pada kode etik yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Dari perspektif hukum dan etika profesi, pembekuan ini dapat dilihat sebagai bentuk perbaikan bagi dunia advokat. Dalam beberapa kasus, perilaku advokat yang tidak menghormati jalannya persidangan dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Peradilan yang berwibawa harus didukung oleh semua aktor dalam sistem hukum, termasuk advokat (Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia : 2010). Jika ada tindakan yang mengganggu jalannya persidangan, maka sanksi dapat dijatuhkan sebagai bentuk penegakan aturan.
Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa tindakan ini dapat menjadi preseden yang membatasi kebebasan advokat dalam membela kliennya. Advokat merupakan bagian dari sistem peradilan yang bebas dan mandiri, dan pembatasan terhadap profesi ini harus dilakukan secara hati-hati agar tidak bertentangan dengan prinsip due process of law. Jika pembekuan berita acara sumpah dilakukan tanpa mekanisme yang jelas, maka hal ini dapat digunakan untuk membungkam advokat yang vokal dalam membela hak-hak kliennya (Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya : 2015).
Dari sisi regulasi, mekanisme pengawasan terhadap advokat seharusnya berada di bawah Dewan Kehormatan Advokat, bukan pengadilan. Dalam praktiknya, pengadilan memang memiliki kewenangan untuk menjaga ketertiban persidangan, tetapi tindakan administratif seperti pembekuan sumpah advokat oleh pengadilan tinggi masih menjadi perdebatan hukum. Beberapa ahli menilai bahwa langkah ini bisa menjadi preseden bagi intervensi yang lebih luas terhadap profesi advokat di masa depan.
Dampak dari keputusan ini tidak hanya dirasakan oleh kedua advokat yang bersangkutan, tetapi juga oleh para klien mereka. Dengan dibekukannya berita acara sumpah, Razman dan Firdaus tidak lagi dapat berpraktik di pengadilan di seluruh Indonesia. Bagi klien mereka, hal ini tentu menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat berdampak pada jalannya perkara yang sedang ditangani.
Pembekuan profesi advokat Razman Nasution dan Firdaus Oiwobo dapat dilihat sebagai upaya perbaikan dalam menjaga marwah peradilan, tetapi juga memiliki potensi ancaman terhadap kebebasan profesi advokat jika tidak diatur dengan mekanisme yang jelas. Diskusi lebih lanjut diperlukan untuk memastikan bahwa tindakan serupa di masa depan dilakukan berdasarkan prosedur hukum yang transparan dan sesuai dengan prinsip negara hukum.