Sidang Lanjutan Korupsi Pejabat Pemko Pekanbaru

Risnandar Sangkal Terima Rp.3,8 M, Akui Hanya Rp1, 5 M

Risnandar Sangkal Terima Rp.3,8 M, Akui Hanya Rp1, 5 M
Suasana sidang Tipikor Selasa 3 Juni 2025 di PN Pekanbaru

PEKANBARU, SERIBUPARITNEWS.COM -- 
Risnandar Mahiwa mantan Pj Walikota Pekanbaru membantah menerima Rp3,6 miliar yang disebut Novin Karmila dan diketahui saksi Sri Wahyuni, dalam sidang. Risnandar mengaku menerima uang itu secara berangsur, di antaranya ada Rp1 miliar dan Rp500 juta.

Sidang perkara korupsi gratifikasi dan pemotongan anggaran di Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru dilanjutkan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, Selasa 3 Juni 2025, menghadirkan saksi yang merupakan Tenaga Harian Lepas (THL) atau honorer di Bagian Umum Sekretariat Daerah Kota (Setdako) Pekanbaru.

Sidang ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Delta Tamtama didampingi Hakim Anggota Jonson Parancis dan Adrian HB Hutagalung.

"Tanggal 29 November 2024 itu Rp500 juta, setelah itu saya tidak lagi ada menerima,’’ kata Risnandar yang mengklaim tidak menerima sampai Rp3,6 miliar seperti disebutkan Novin Karmila kepada saksi Maria Ulfa.

Dalam sidang kelima ini, beberapa THL yang jadi saksi mengatakan adanya pembuatan surat pertanggungjawaban (SPj) fiktif di Bagian Umum Sekretariat Daerah Kota (Setdako) Pekanbaru.

Salah satu pencairan Ganti Uang (GU) biaya logistik, termasuk makan minum di Bagian Umum Sekdako Pekanbaru pada 29 November 2024 mencapai Rp5,8 miliar. GU ini, menurut saksi banyak menggunakan SPj fiktif. Semakin terang, setelah pencairan saksi bernama Maria Ulfa menyebutkan senilai Rp3,8 miliar diserahkan Novin Karmila ke Risnandar Mahiwa.

Maria mengetahui itu usai mendapat pesan WhatsApp dari terdakwa Novin. Maria juga ditugaskan membuat bon (kuitansi) yang seolah-olah asli dikeluarkan oleh rumah makan.

Sementara saksi Suhaila menyebutkan, bon fiktif mencapai 60 persen dari total kuitansi yang ia cetak untuk pencairan.

JPU KPK membacakan BAP Tengku Suhaila di mana bon-bon yang dijadikan bahan SPj berasal dari bon kosong dari Rumah Makan Sederhana Hangtuah, Hangtuah Nangka, Khas Melayu, Selera Kampung, Pagi Sore, dan Pak Ndut. Bon kosong itu disebut didapat saksi dari Jufrizal, seorang honorer di Bagian Umum Sekdako Pekanbaru.

Saksi menerangkan, bermodal bon asli dari rumah-rumah makan itu, saksi menulis ulang dengan harga mark-up di atas bon kosong. Saksi memastikan bahwa perbuatannya itu dilakukan atas perintah terdakwa Novin Karmila.

Dalam keterangannya, Suhaila menerima total Rp50 juta dari Novin Karmila atas pekerjaannya. Dari jumlah itu, hingga ia bersaksi kemarin, baru Rp3 juta dikembalikan ke negara.

Sementara itu saksi Maria Ulfa juga memberikan kesaksian soal penyerahan kepada Risnandar. Maria diperlihatkan catatannya sendiri yang menjadi barang bukti dalam perkara ini. Salah satu catatan itu ada yang tertulis ‘BPK Rp600 juta’. Maria menerangkan, BPK itu merupakan singkatan dari Bapak.

Maria mengaku hanya diminta menulis atau mencatatkan saja oleh terdakwa Novin Karmila.

Selain itu, Maria juga diminta oleh Novin untuk membuat bon untuk SPj fiktif. Modusnya pembayaran makan minum tidak hanya di-markup, melainkan murni fiktif. Yaitu faktur kosong dari beberapa rumah makan yang diisi sendiri oleh Maria dan beberapa rekannya sesama THL.

Atas jasanya membuat SPj fiktif itu, Maria mendapat ‘’uang lelah’’ dari Novin Karmila. Total secara akumulatif mencapai Rp50 juta, dan baru Rp3 juta dikembalikan kepada KPK.

Sementara itu dari keterangan saksi Sri Wahyuni yang merupakan Bendahara Pengeluaran Sekdako Pekanbaru terungkap bahwa ada pencairan anggaran Tambah Uang (TU) tanpa SPj.

Pemeriksaan terhadap Wahyuni diawali dengan informasi bahwa pencairan TU sudah tidak diperbolehkan lagi. Hal itu seiring keluarnya surat edaran dari Pj Wako Risnandar, pada 28 Oktober 2024.

Dalam edaran itu, disebut Wahyuni belanja tidak prioritas tidak boleh dicairkan. Hanya saja, pada kenyataannya, ia tetap mencairkan TU pada 21, 28, dan 29 November 2024 sesuai perintah Novin Karmila. JPU mempertanyakan saksi mengapa berani mencairkan padahal sudah ada edaran larangannya.

‘’Kata Kak Novin (terdakwa, red) khusus Bagian Umum (Setdako Pekanbaru, red) dibolehkan, sambil men-forward-kan chat yang saya tak tahu dari siapa,’’ Wahyuni menjawab jaksa.

Wahyuni mengaku awalnya tidak tahu chat siapa yang diteruskan Novin. Belakangan, chat itu berasal dari ajudan Risnandar Mahiwa yang dikirimkan ke nomor WhatsApp Novin Karmila.

Adapun TU yang dicairkan itu mencapai Rp11 miliar, di mana saksi Wahyuni menyebutkan, senilai Rp7,8 miliar yang belum bisa di-SPj-kan. Wahyuni beralasan, selain sulit pengerjaannya, para terdakwa juga keburu kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 2 Desember 2024.

‘’Berarti sesuai barang bukti tadi belum ada SPj sama sekali?’’ tanya JPU KPK.

‘’Benar Pak, belum ada sama sekali,’’ jawab Wahyuni menegaskan.

Sri Wahyuni mengaku pernah menerima dari Novin Rp53 juta tanpa tanda terima, namun tidak bertanya sumbernya.

Dari jumlahnya itu, Wahyuni mengaku tidak menggunakannya untuk pribadi, melainkan untuk operasional para staf di Setdako Pekanbaru. Uang itu masih bersisa Rp19 juta yang turut disita KPK. Ia diminta JPU KPK agar mengembalikan sisanya yang telah terpakai senilai Rp34 juta kepada negara.