Investor Amerika dipastikan memegang kendali mayoritas atas operasi TikTok di AS. Analis menilai sikap hati-hati Beijing dimaksudkan untuk menjaga ruang gerak dalam dialog yang lebih luas dengan Washington.
BEIJING: Pemerintah Amerika Serikat menganggap kesepakatan antara mereka dengan China untuk keberlangsungan TikTok di AS adalah sebuah kemenangan.
Pada kesepakatan yang diwujudkan melalui perintah Presiden Donald Trump pada Kamis (25/9), TikTok bisa terus beroperasi di Negeri Paman Sam dengan syarat investor AS memiliki saham mayoritas atas aplikasi buatan China tersebut.
Tidak ada perwakilan ByteDance, perusahaan pemilik TikTok, saat Trump mengumumkan perintah itu. Pernyataan pemerintah China terkait hal ini juga belum disampaikan.
Para analis mencermati, sebelumnya pemerintah China selalu mengeluarkan pernyataan dengan bahasa yang hati-hati, ambigu, dan menekankan bahwa semua hal yang tertuang di kesepakatan itu tetap tunduk pada hukum China.
Namun analis menilai sikap Beijing yang terkesan memberi lampu hijau bagi kepemilikan AS di TikTok bukanlah sebuah bentuk penyerahan diri, melainkan manuver terukur untuk mendapatkan pengaruh dalam perundingan yang lebih luas dengan Trump.
Belum ada rincian lebih lanjut mengenai kesepakatan itu. Namun, Sun Chenghao, peneliti di Center for International Security and Strategy Universitas Tsinghua, mengatakan bahwa perjanjian tersebut merupakan bagian dari kerangka yang lebih luas, termasuk komponen investasi di luar TikTok.
“Hal ini menunjukkan bahwa kedua negara besar ini tengah melihat gambaran besar dan merencanakan untuk jangka panjang.”
Meski detailnya masih belum jelas, sejumlah pengamat menilai bahwa kesepakatan ini bukan sekadar perombakan korporasi. Sebaliknya, kesepakatan ini akan menjadi sinyal bahwa di tengah rivalitas yang makin memanas, masih ada ruang untuk bernegosiasi di antara kedua negara ekonomi terbesar dunia ini.
Beberapa pengamat juga mengingatkan bahwa konsesi apa pun yang terjadi berpotensi mengubah peta kekuasaan.
“Melindungi pemasukan dan pengaruh global ByteDance itu penting,” ujar Jonathan Ping, lektor kepala di Bond University.
“Tapi kehilangan kendali operasional bisa melemahkan pengaruh strategis China atas budaya dan data, sekaligus memberi sinyal kepada negara lain bahwa mereka juga bisa meminta perlakuan serupa.”
SATU KESEPAKATAN, DUA NARASI
TikTok, yang berada di bawah naungan raksasa teknologi China ByteDance, digunakan oleh lebih dari 170 juta orang di AS, sekitar separuh populasi negara itu.
Namun, nasib aplikasi ini di AS sudah lama menggantung, terseret tarik ulur selama bertahun-tahun di bawah pemerintahan Joe Biden maupun dua periode kepresidenan Donald Trump.
Anggota legislatif AS dari Partai Demokrat maupun Republik menganggap TikTok bisa digunakan China untuk mengakses data sensitif atau memengaruhi opini publik. China telah berkali-kali membantah tuduhan tersebut.
Kecemasan AS memuncak tahun lalu dengan dikeluarkannya undang-undang baru yang memaksa ByteDance melepaskan operasional TikTok di AS atau dilarang sepenuhnya di negara itu.
Pada 2020, saat menjabat presiden untuk pertama kalinya, Trump mendorong pelarangan TikTok. Kini, usai kembali berkuasa, ia justru tampil sebagai pendukung TikTok dengan berulang kali menunda tenggat pelepasan paksa.
Pada 19 September akhirnya terlihat titik terang, tepatnya setelah percakapan telepon antara Trump dan Presiden China Xi Jinping.
Terima kasih atas persetujuan TikTok,” tulis Trump di media sosial, seraya menyebut adanya kemajuan dalam isu lain seperti perdagangan, fentanyl, dan perang Rusia–Ukraina selama pembicaraan mereka.
Berbagai media di AS mengutip pejabat pemerintahan yang mengatakan bahwa dalam kesepakatan itu, TikTok harus memberikan enam dari tujuh kursi dewan komisaris untuk investor dari AS. Artinya, ByteDance hanya akan memiliki saham kurang dari 20 persen untuk TikTok di AS.
Laporan juga menyebutkan, data pengguna AS akan disimpan di server milik Oracle, perusahaan penyedia infrastruktur cloud dan perangkat lunak, melanjutkan pengaturan yang sebelumnya dibuat demi mengurangi risiko bagi keamanan nasional.
“Setidaknya, TikTok berhasil mempertahankan operasinya di AS,” kata Sun.
“Jika TikTok dipaksa keluar sepenuhnya dari pasar AS atau menjalani divestasi 100 persen, itu akan menjadi skenario terburuk. Kini, China masih menahan sebagian kepemilikan dalam batas yang diperbolehkan … itu bukan kerugian total.”
Sebaliknya, pemerintah Beijing menjaga pernyataannya tetap samar, tanpa merinci isi kesepakatan terkait TikTok. China juga tidak mengatakan bahwa mereka telah mencapai perjanjian final dengan AS terkait hal ini.
Dalam keterangan resmi China atas percakapan Trump–Xi, Presiden Xi menyatakan pemerintahnya “berharap negosiasi bisnis yang produktif sesuai aturan pasar bisa menghasilkan solusi yang sejalan dengan hukum China serta mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak.”
Xi juga mendesak Washington untuk “menjamin lingkungan investasi yang terbuka, adil, dan nondiskriminatif bagi perusahaan China.”
Pejabat pemerintah Beijing menekankan bahwa isu TikTok harus dipandang sebagai bagian dari pembahasan ekonomi dan perdagangan yang lebih luas, bukan sebuah konsesi tunggal.
Usai perundingan dagang AS–China di Madrid pertengahan September, Beijing dalam pernyataannya memasukkan TikTok sebagai salah satu isu utama selain agenda perdagangan lainnya.
Dokumen itu menyinggung “kerangka kesepakatan” yang mencakup investasi dan isu lain, menandakan TikTok hanyalah satu elemen dari paket yang lebih besar dan masih dibicarakan.
Menurut Sun, kerangka narasi yang hati-hati ini menunjukkan China ingin menjaga ruang gerak, dengan menempatkan TikTok sebagai bagian dari paket tawar-menawar yang lebih luas dalam hubungan dengan Washington.
Di luar isu TikTok, Washington dan Beijing masih berseberangan dalam berbagai hal, mulai dari tarif impor, pembatasan ekspor semikonduktor, hingga akses ke mineral langka dan prinsip timbal balik pasar.
“Pernyataan resmi menegaskan dua hal yang ingin terus ditekankan China: bahwa nasib TikTok pada akhirnya tetap tunduk pada hukum China, dan bahwa pemerintah tidak melihat persoalan ini secara terpisah, melainkan sebagai bagian dari iklim yang lebih luas bagi perusahaan China di luar negeri,” ujarnya.
Dengan menekankan isu keadilan dan timbal balik, komentar Xi menurutnya menandakan bahwa Beijing ingin kesepakatan ini dipahami bukan semata sebagai restrukturisasi korporasi, tetapi juga sebagai tolok ukur bagaimana AS memperlakukan investor asing.
Pejabat senior AS dan China yang dipimpin Menteri Keuangan AS Scott Bessent, Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer, Wakil Perdana Menteri China He Lifeng, serta negosiator perdagangan China Li Chenggang bertemu di Madrid, Spanyol, 14 September 2025, untuk membahas isu perdagangan, ekonomi, dan TikTok. (Foto: Reuters/United States Treasury/Handout)
KONSESI, KOMPROMI, ATAU MANUVER TERUKUR?
Kesepakatan kepemilikan TikTok bisa tercatat sebagai kasus pertama di mana sebuah perusahaan China harus menyerahkan kendali mayoritas atas unit usahanya di AS akibat desakan regulasi.
Sejumlah perusahaan China lain seperti Huawei dan ZTE juga menghadapi larangan serta sanksi di AS, tetapi mereka tidak pernah diwajibkan melepas kepemilikan saham.
Lalu mengapa China bisa menerima hasil seperti ini, dan apa sebenarnya niat mereka?
Sebagian analis melihat kesepakatan sementara ini sebagai bentuk tunduknya Beijing pada tekanan AS. Ada pula yang menilainya sebagai kompromi pragmatis untuk menjaga akses TikTok ke pasar luar negeri terbesarnya. Sementara yang lain memandangnya sebagai strategi terukur guna mendapatkan posisi tawar dalam perundingan lain yang lebih luas dengan Washington.
Ping dari Bond University mengatakan, kesepakatan yang berhasil akan menegaskan bagaimana Washington memanfaatkan undang-undang keamanan nasional untuk memaksakan perubahan struktural—sesuatu yang belum pernah dihadapi perusahaan China dalam skala sebesar ini.
"Kesepakatan ini menandakan China rela berkompromi di bawah desakan aturan. Namun, penyerahan kendali TikTok-AS kepada investor Amerika membuat Partai Komunis China kehilangan pengaruh atas algoritma serta data pengguna, yang bisa mengikis soft power dan posisi strategisnya,” katanya kepada CNA.
Pejabat Amerika sebelumnya telah mengatakan bahwa undang-undang keamanan nasional dan intelijen China memberi dasar hukum bagi Beijing untuk memaksa ByteDance menyerahkan data pengguna TikTok. Akan tetapi, klaim tersebut telah berulang kali disangkal oleh otoritas China dan ByteDance.
“Dalam skenario ekstrem, ini berarti kehilangan alat mata-mata digital yang berguna, komponen dari perang di zona abu-abu, sekaligus data untuk melatih proyek AI mereka,” kata Ping.
Menurut Ping, kesepakatan ini dapat diartikan baik sebagai pengorbanan Beijing dalam hal kedaulatan teknologi, maupun sebagai langkah terukur untuk melindungi pasar serta pendapatan TikTok di AS sekaligus mengurangi dampak negatif pada negosiasi dagang.
Meski begitu, analis mengingatkan hasil akhirnya mungkin bergantung pada hal-hal lain dari kesepakatan tersebut, yang sebagian besar masih belum diketahui publik.
“Isu ini sudah menjadi bagian dari konteks perundingan dagang yang lebih luas. Jadi tidak bisa dilihat secara terpisah. Bisa saja terkait keuntungan di sektor lain,” kata Sun dari Universitas Tsinghua.
“Tapi karena kita belum tahu apa saja isi paket kesepakatan itu, kita juga belum bisa menilainya. Menurut saya terlalu dini untuk menyimpulkan apakah China menjadi pihak yang dirugikan,” tambahnya.
Seorang pria merekam video TikTok di luar kantor pusat TikTok di Culver City, California, 18 Januari 2025. (Foto: Reuters/Fred Greaves)
Bagi China, keuntungan paling langsung dari diserahkannya mayoritas saham TikTok untuk operasional di AS adalah selamatnya media sosial tersebut dari pelarangan total di AS.
TikTok tidak merilis data pendapatan per negara, tetapi laporan Barron’s yang mengutip firma analitik Sensor Tower memperkirakan sekitar 30 persen pendapatan aplikasi tersebut berasal dari pasar AS.
Menjaga akses ke pasar AS bukan hanya memastikan aliran pendapatan tetap berjalan, tetapi juga mempertahankan visibilitas ByteDance di pasar yang umumnya tertutup bagi perusahaan teknologi China, kata analis.
Nilai simbolisnya juga besar.
TikTok sejak lama dipandang sebagai salah satu kisah sukses langka teknologi China yang mendunia. Mempertahankan pijakan di pasar AS memungkinkan Beijing menonjolkan keberhasilan itu di saat aplikasi lain asal China, seperti WeChat dan Weibo, menghadapi berbagai hambatan hukum serta pembatasan operasi, ujar Sun.
Trump sempat mengincar WeChat pada masa jabatan pertamanya, dengan menandatangani perintah eksekutif pada 2020 untuk melarang aplikasi itu dari toko aplikasi AS, meski kebijakan tersebut kemudian diblokir pengadilan.
Sementara pada Mei tahun ini, Weibo termasuk dalam daftar perusahaan China yang dipermasalahkan oleh sejumlah anggota parlemen AS, yang mendesak otoritas bursa AS mencabut pencatatannya dengan alasan keamanan nasional, lapor Financial Times.
Menurut Sun, ByteDance tetap memiliki andil dalam operasi dan pemasukan melalui saham minoritas serta hak lisensi, meski kendalinya kini terbatas di AS.
Menurut analis, meskipun restrukturisasi TikTok bisa melemahkan pengaruh langsung China atas salah satu platform global tersuksesnya, langkah ini juga bisa menjadi cara pragmatis untuk melindungi akses pasar, menjaga pendapatan, serta membuka peluang bagi posisi tawar di masa depan dalam negosiasi AS–China.
Analis menilai, jika China merestui ByteDance melepas kendali mayoritas atas TikTok-AS, itu berarti Beijing secara tidak langsung telah mengakui bahwa mereka punya pengaruh atas data dan algoritma platform tersebut.
Namun Sun dari Universitas Tsinghua menolak pandangan bahwa hal ini mencerminkan hilangnya kedaulatan teknologi China, dengan menekankan bahwa persoalan ini ditangani sebagai isu di tingkat negara.
“Intinya, kedua pihak sedang berusaha mencari solusi … AS menekankan bahwa ada kesepakatan soal TikTok, tapi isu lain mungkin masih dalam tahap perundingan,” ujarnya.
Ping dari Bond University menyoroti posisi unik TikTok di persimpangan ekonomi, politik, dan keamanan.
Ia menekankan bahwa platform video pendek ini adalah aset komersial bernilai tinggi, dengan pendapatan miliaran dolar dan jangkauan global. “(Hal ini membuat) kendali atas operasinya menjadi urusan strategis bisnis, sebagaimana diakui Presiden Trump,” katanya.
Di saat yang sama, popularitas dan pengaruh TikTok—khususnya di kalangan pengguna muda—menjadikannya alat yang kuat dalam persaingan geopolitik global, tambah Ping.
Menurutnya, dualitas ini mencerminkan dilema Beijing antara menjaga kedaulatan dan memastikan kelangsungan perusahaan-perusahaannya di luar negeri, yang pada akhirnya bermuara pada pertanyaan: mana yang lebih diprioritaskan, keberlanjutan ekonomi atau kedaulatan.
“Ini bisa dianggap kompromi pragmatis untuk mempertahankan akses TikTok ke pasar AS dan menghindari larangan. Namun bagi China, kehilangan kendali dan melemahnya pengaruh atas platform global strategis tetap akan menjadi pukulan besar,” ujar Ping.
Presiden AS Donald Trump (kiri) berpose dengan Presiden China Xi Jinping sebelum pertemuan bilateral mereka di sela KTT G20 di Osaka, Jepang, 29 Juni 2019. (Foto: Reuters/Kevin Lamarque)
Trump juga memberi isyarat akan berkunjung ke China awal 2026, dan sejumlah media melaporkan Beijing sudah melayangkan undangan resmi, mengutip sumber yang mengetahui hal tersebut.
“Saya rasa dibanding sebelumnya, ketegangan kini agak mereda. Jalur komunikasi sudah dibuka kembali. Ada harapan yang besar dari pertemuan kedua pemimpin, dan Trump diperkirakan akan berkunjung ke China awal tahun depan,” kata Sun.
“Karena itu, kemungkinan besar kedua pihak akan berupaya menunjukkan gestur positif menjelang pertemuan tersebut untuk memperbaiki hubungan.”
Merujuk pada diskusi tertutup antara negosiator AS dan China dalam sejumlah putaran perundingan terakhir, Sun mengatakan hal ini menunjukkan kedua pihak telah membangun “jalur komunikasi yang lebih terstruktur.”
“Jadi menurut saya, dari level pimpinan hingga kontak di tingkat kerja, hubungan kini jelas lebih stabil dibanding saat Trump pertama kali menjabat, ketika kedua pihak terjebak dalam konfrontasi balas-membalas.”
Kesepakatan TikTok juga akan menunjukkan bagaimana dua negara ekonomi terbesar dunia masih bisa menegosiasikan perbedaan dan menemukan titik temu ketika kepentingan mereka sejalan, kata Chong dari NUS. Namun ia mengingatkan, pengaturan semacam ini kecil kemungkinan berlaku di luar dua negara tersebut.
“Ada kompromi jelas antara AS dan China dalam kasus ini. Namun, harus diingat keduanya adalah dua kekuatan ekonomi terbesar yang bernegosiasi untuk perusahaan raksasa. Posisi tawar seperti ini tidak dimiliki kebanyakan negara,” katanya.
Ping dari Bond University mengingatkan bahwa keberhasilan kesepakatan ini bisa menjadi preseden, mendorong negara-negara besar bersikap lebih keras dalam melindungi kepentingannya di tengah rivalitas teknologi yang kian tajam.
“Negara yang merasa lebih percaya diri bisa memberlakukan kontrol ketat atas perusahaan teknologi asing, karena tahu konsesi itu mungkin terjadi,” katanya.
“Hasilnya bisa memicu lebih banyak kebijakan proteksionis, terutama di sektor sensitif seperti data dan AI, yang pada akhirnya mempercepat terpecahnya ekosistem teknologi global menjadi blok-blok regional—menandai pergeseran menuju politik pembatasan.”