Generasi Anti Cemas : Teknologi Telah Menjajah Kita

Generasi Anti  Cemas :  Teknologi Telah Menjajah Kita

Penulis : DR. H. Agus Maulana, S.E., M.M., CPHCM

Pendahuluan 
Di tengah derasnya arus digitalisasi global, generasi muda Indonesia seperti halnya anak-anak dan remaja di seluruh dunia menghadapi tantangan besar terhadap kesehatan mental mereka. Data menunjukkan, Gen Z lebih rentan mengalami depresi, kecemasan, dan stres dibandingkan generasi sebelumnya, dengan lebih dari separuh Gen Z melaporkan kecemasan yang memburuk dalam beberapa tahun terakhir, Lebih dari separuh (54%) Gen Z mengatakan kecemasan mereka semakin memburuk selama setahun terakhir, terutama tahun 2023. Hasil survei Deloitte mengungkap bahwa Generasi Z memiliki kekhawatiran utama terkait biaya hidup (53%), mencerminkan keprihatinan terhadap tingginya biaya kebutuhan dasar. Selain itu juga mengkhawatirkan pengangguran (22%), perubahan iklim (21%), kesehatan mental (19%), dan keamanan pribadi (17%). Hal tersebut mencerminkan ketidakpastian ekonomi, kepedulian terhadap lingkungan,dan kesadaran akan kesejahteraan mental dan privasi personal.

Gawai, media sosial, dan internet, yang awalnya hadir sebagai sarana komunikasi dan pembelajaran, kini justru menjadi sumber kecemasan, depresi, kesepian, hingga kecanduan digital (Haidt, 2023). Di tengah krisis ini, Indonesia memiliki modal budaya dan spiritual yang unik pada agama dan budi pekerti luhur yang telah tertanam sejak zaman nenek moyang. Nilai-nilai ini bukan sekadar warisan budaya, melainkan benteng psikologis dan moral yang mampu melindungi generasi muda dari ancaman dunia maya.Fenomena yang terjadi saat ini, dikaitkan dengan kondisi "Generasi Anti Cemas" bagaimana membentenginya. Teknologi Telah Menjajah Kita sebagai sebuah krisis multidimensi yang terjadi pada generasi muda Indonesia, terutama anak dan remaja, sebagai dampak dari derasnya arus digital. Krisis ini berpusat pada kesehatan mental dan pergeseran nilai yang mengancam fondasi kebangsaan.

"Bangsa Indonesia, Generasi Anti Cemas: Dengan Benteng Agama dan Budi Pekerti Luhur Bangsa Indonesia yang Sudah Tertanam Sejak Zaman Dahulu Kala" berdasarkan sinopsis buku Jonathan Haidt mengenai tantangan dunia digital terhadap kesehatan mental anak dan remaja dengan nilai-nilai budaya dan spiritual yang Anda sebutkan, yaitu agama dan budi pekerti luhur.

Krisis Modern: Jelaskan fenomena global yang disoroti oleh Jonathan Haidt: lonjakan masalah kesehatan mental (kecemasan, depresi, kesepian) pada anak dan remaja seiring dengan dominasi teknologi digital, gawai, dan media sosial.
Konteks Indonesia: Kaitkan masalah global ini dengan kondisi di Indonesia. Akui bahwa generasi muda Indonesia juga menghadapi tantangan yang sama.
Narasi Utama: Perkenalkan gagasan bahwa Indonesia memiliki "benteng" unik untuk menghadapi krisis ini, yaitu nilai-nilai luhur yang sudah ada sejak lama, seperti agama dan budi pekerti. Nyatakan bahwa nilai-nilai ini bisa menjadi solusi untuk mengembalikan keseimbangan dan menciptakan generasi yang "anti cemas."

DAMPAK
Penjajahan Digital: Krisis Kesehatan Mental dan Pergeseran Nilai. Fenomena saat ini menunjukkan bahwa gawai, internet, dan media social yang awalnya merupakan alat konektivitas dan informasi telah bertransformasi menjadi penjajah mental dan budaya yang bekerja secara halus dan masif.
1. Dampak Nyata pada Kesehatan Mental (Krisis Generasi Muda)
Fenomena utama yang terjadi sejalan dengan sinopsis buku Jonathan Haidt adalah lonjakan masalah kesehatan mental pada anak dan remaja. Data di Indonesia menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja mengalami masalah kesehatan mental, dengan kasus kecanduan gawai, game online, dan media sosial yang semakin meresahkan, bahkan hingga membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit jiwa.
Epidemi Kecemasan dan Depresi: Anak dan remaja terpapar pada tekanan sosial yang tak henti dari media sosial. Mereka terjebak dalam budaya perbandingan sosial (social comparison), di mana kehidupan nyata dibandingkan dengan "etalase" kesempurnaan di dunia maya. Hal ini memicu rasa rendah diri, kecemasan (khawatir akan Fear of Missing Out/FOMO), hingga depresi.
Isolasi Sosial dan Kualitas Tidur Menurun: Penggunaan gawai yang berlebihan mengurangi interaksi sosial tatap muka yang autentik (penyebab kesepian) dan mengganggu pola tidur (pemicu utama gangguan konsentrasi dan emosi). Mereka hidup lebih banyak di dunia maya, mengabaikan dunia fisik dan hubungan yang bermakna.
Pergeseran Perkembangan Anak: Masa kanak-kanak yang seharusnya diisi dengan permainan fisik, eksplorasi alam, dan interaksi langsung yang esensial untuk perkembangan motorik dan sosial-emosional telah digantikan oleh screen time pasif.
2. Krisis Kesehatan Mental Remaja di Era Digital.
Penelitian global menunjukkan bahwa sejak 2010 tepat ketika smartphone dan media sosial menjadi dominan terjadi lonjakan signifikan dalam gejala kecemasan, depresi, dan bunuh diri di kalangan remaja (Twenge et al., 2018; Haidt & Lukianoff, 2018). Faktor utamanya meliputi: Kurang tidur akibat penggunaan gawai hingga larut malam (Levenson et al., 2017). Perbandingan sosial negatif di media sosial (Fardouly et al., 2015). Penurunan interaksi tatap muka yang esensial bagi perkembangan empati dan keterampilan sosial (Uhls et al., 2014). Kecanduan layar yang mengganggu fungsi eksekutif otak (Loh & Kanai, 2016). Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa 1 dari 6 remaja usia 15–24 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan angka ini terus meningkat seiring penetrasi internet yang mencapai lebih dari 73% populasi (APJII, 2023).

SOLUSI
Benteng Indonesia: Melawan Kecemasan dengan Kekuatan Warisan Leluhur. Meskipun penjajahan teknologi ini mengglobal, Bangsa Indonesia memiliki sumber daya unik yang sudah tertanam kuat sejak dahulu kala untuk menghadapi krisis ini: Agama dan Budi Pekerti Luhur. Inilah yang dapat menciptakan Generasi Anti Cemas. Berikut Solusi yang dapat dilakukan:
1. Agama sebagai Penyangga Psikologis
Studi lintas budaya membuktikan bahwa keterlibatan religius berkorelasi kuat dengan ketahanan mental (Koenig, 2012; Smith et al., 2021). Agama memberikan: Tujuan hidup (meaning in life) yang melindungi dari keputusasaan (Steger et al., 2006). Komunitas spiritual yang menjadi jaringan dukungan sosial (Lim & Putnam, 2010). Disiplin ritual (seperti shalat, meditasi, puasa) yang melatih regulasi emosi dan self-control (Inzlicht et al., 2014). Di Indonesia, mayoritas penduduk menganut agama yang menekankan kasih sayang, kesabaran, dan tanggung jawab sosial. Nilai-nilai ini, jika diajarkan secara konsisten di rumah dan sekolah, dapat menjadi antidot alami terhadap budaya instan dan individualistik media sosial.
2. Agama sebagai Sumber Ketenangan Batin
Dalam menghadapi hiruk pikuk dan tuntutan dunia digital, nilai-nilai spiritual dan agama berfungsi sebagai jangkar bagi generasi muda:
Ketenangan dan Makna Hidup: Ajaran agama memberikan fondasi nilai yang mengajarkan tentang rasa syukur, penerimaan, dan pentingnya fokus pada inner-self (kedamaian batin), alih-alih validasi eksternal dari jumlah likes atau followers. Kepercayaan kepada Tuhan yang Mahakuasa membantu remaja menemukan makna hidup yang melampaui kegagalan atau cyberbullying.
Pengendalian Diri dan Etika: Agama mengajarkan akhlak dan tanggung jawab moral. Konsep dosa/pahala, baik/buruk, membantu remaja mengembangkan kontrol diri (self-control) dalam menggunakan gawai, menghindari konten negatif (pornografi, judi online), serta mencegah perilaku merusak seperti cyberbullying dan penyebaran hoaks.
3. Budi Pekerti Luhur sebagai Penguat Hubungan Manusia
Budi pekerti adalah benteng kedua yang mengembalikan generasi muda pada esensi kemanusiaan, yang perlahan terkikis oleh interaksi digital yang dingin:
Tolak Bala Individualisme: Nilai-nilai seperti gotong royong, silaturahmi, dan tenggang rasa yang diwariskan oleh nenek moyang kita adalah penawar terhadap budaya individualisme dan narsisisme yang dipromosikan media sosial. Budi pekerti mendorong remaja untuk berempati, peduli, dan kembali membangun komunitas fisik yang nyata.
Kecerdasan Emosional (EQ): Budi pekerti mengajarkan sopan santun, menghormati orang tua dan guru, serta berinteraksi secara santun (unggah-ungguh). Latihan interaksi tatap muka yang berlandaskan budi pekerti akan melatih Emotional Quotient (EQ) mereka, membuat mereka lebih tangguh menghadapi konflik dan tekanan sosial di dunia nyata, daripada lari ke dunia virtual.
4. Budi Pekerti Luhur: Warisan Nenek Moyang yang Relevan
Sebelum era digital, masyarakat Indonesia telah mengenal konsep budi pekerti luhur sebagai nilai moral seperti hormat kepada orang tua, gotong royong, malu berbuat salah, dan menjaga nama baik keluarga. Konsep ini sejalan dengan prinsip character education yang terbukti efektif meningkatkan kesejahteraan psikologis remaja (Berkowitz & Bier, 2005; Lickona & Davidson, 2005). Penelitian di Jepang dan Korea menunjukkan bahwa budaya yang menekankan malu (shame) dan harga diri kolektif dapat mengurangi perilaku impulsif dan risiko mental health (Heine et al., 2001). Di Indonesia, nilai seperti malu bukan berarti pengekangan, melainkan kesadaran moral internal yang mencegah anak terjerumus dalam konten negatif atau perilaku daring yang merusak.

REKOMENDASI
1: Badai Digital dan Kesehatan Mental Generasi Muda
Dampak Digital: Uraikan secara lebih rinci dampak negatif teknologi seperti yang dijelaskan dalam (Haidt, 2023) Kurang Tidur: Keterlibatan yang berlebihan dengan layar mengganggu pola tidur, yang esensial untuk perkembangan otak. Kecanduan: Mekanisme dopamin dari media sosial menciptakan ketergantungan yang sulit diatasi. Rasa Kesepian dan Depresi: Interaksi digital yang dangkal menggantikan hubungan manusia yang otentik, menyebabkan isolasi dan memicu perasaan depresi.
Pergeseran Budaya: masa kanak-kanak yang dulunya berpusat pada permainan fisik dan interaksi tatap muka telah bergeser menjadi dunia virtual.
2: Benteng Agama dan Budi Pekerti Luhur: Solusi dari Akar Budaya Bangsa
Peran Agama:
Sumber Ketenangan: Jelaskan bagaimana ajaran agama memberikan fondasi spiritual yang kuat. Keimanan, ritual keagamaan (salat, doa, meditasi), dan komunitas religius dapat menjadi sumber ketenangan, harapan, dan dukungan sosial.
Nilai Positif: Bahas bagaimana ajaran agama mengajarkan nilai-nilai seperti syukur, kesabaran, dan kedermawanan, yang bertolak belakang dengan budaya kompetisi dan validasi diri di media sosial.
Peran Budi Pekerti Luhur:
Tanggung Jawab dan Etika: Jelaskan bagaimana budi pekerti yang diwariskan dari nenek moyang mengajarkan etika dalam berinteraksi. Contohnya seperti sopan santun, menghargai sesama, dan berempati. Nilai-nilai ini sangat krusial dalam melawan budaya "cancel culture" dan perundungan siber (cyberbullying) yang marak.
Koneksi Manusia: Uraikan bagaimana budi pekerti menekankan pentingnya silaturahmi, gotong royong, dan interaksi sosial yang hangat. Ini adalah kunci untuk melawan isolasi dan kesepian akibat media sosial.
3: Langkah Konkret untuk Mengembalikan Keseimbangan
Integrasi Solusi: Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat dengan Solusi Efektif harus bersifat multisistemik:
3.1. Keluarga sebagai benteng pertama:  
Orang tua perlu menerapkan digital parenting berbasis nilai bukan hanya membatasi layar, tetapi juga mengajarkan etika digital melalui contoh dan dialog (Livingstone & Blum-Ross, 2020). Ritual keluarga seperti makan bersama tanpa gawai dan doa bersama memperkuat ikatan emosional (Turkle, 2015).
Budaya Mendengarkan: perilaku mendengarkan dengan baik ketika; orang tua sedang berbicara atau menasihati, mendengarkan dengan sekasama Ketika ada khutbah dibacakan, mendengarkan dengan tertib dalam berdiskusi atau dengar pendapat, menyimak pengajian, mendengarkan nasihat guru/orang yang lebih tua dan lebih pintar serta pimpinan.
Peran Orang Tua dan Keluarga: Berikan saran praktis yang dapat dilakukan orang tua. Contohnya:
Menerapkan waktu puasa gawai untuk seluruh keluarga.
Mendorong anak untuk terlibat dalam kegiatan di luar ruangan dan hobi kreatif.
Mengajarkan budi pekerti melalui teladan dan cerita.
3.2. Sekolah sebagai pusat pembentukan karakter:  
Kurikulum harus mengintegrasikan pendidikan budi pekerti dan literasi digital kritis. Program seperti kelas tanpa gawai atau minggu refleksi spiritual terbukti menurunkan stres akademik (OECD, 2019).
Peran Sekolah dan Komunitas:
Sekolah dapat membatasi penggunaan gawai di lingkungan belajar.
Masyarakat dapat menghidupkan kembali kegiatan-kegiatan komunal dan keagamaan.
3.3. Masyarakat dan kebijakan publik:  Pemerintah perlu mendukung gerakan AnakSehatDigital dengan regulasi usia penggunaan media sosial (seperti di Inggris dan Prancis) serta kampanye nasional berbasis nilai lokal (UNICEF, 2021).
Memadukan Dunia Lama dan Baru: Tekankan bahwa tujuannya bukan menolak teknologi, melainkan menggunakannya dengan bijak dan menempatkannya pada porsi yang benar, di bawah payung nilai-nilai luhur.
3.4. Benteng Keislaman.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang relevan dengan peran agama, spiritualitas, dan nilai budaya dalam mengatasi kecemasan digital, khususnya dalam konteks menenangkan hati, memperkuat iman, menjaga akhlak, serta menghindari godaan dunia maya yang menyesatkan. Meskipun Al-Qur’an tidak menyebutkan “media sosial” atau “gawai” secara eksplisit (karena diturunkan 14 abad lalu), pesan-pesannya bersifat universal dan sangat aplikatif terhadap tantangan digital masa kini.
Ketenteraman Hati Melalui Mengingat Allah (Dhikrullah)
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."
(QS. Ar-Ra’d: 28)
Relevansi: Di tengah kecemasan akibat perbandingan sosial di media sosial, notifikasi yang mengganggu, atau tekanan untuk selalu "tampil sempurna", ayat ini mengingatkan bahwa ketenangan sejati datang dari hubungan spiritual dengan Allah, bukan dari validasi digital.
Perlindungan dari Godaan Setan dan Tipu Daya Dunia
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
"Sesungguhnya setan hanya ingin menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu melalui khamar dan judi, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat. Maka apakah kamu tidak berhenti?"
(QS. Al-Ma’idah: 91)
Relevansi: Dunia digital terutama media social sering menjadi sarana penyebaran kebencian, fitnah, dan konten yang mengalihkan dari ibadah. Ayat ini mengajak umat untuk berhenti dari aktivitas yang merusak spiritualitas, termasuk penggunaan gawai yang berlebihan dan tidak bermanfaat.
Larangan Mengikuti Bisikan Nafsu dan Tren yang Menyesatkan
فَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ
"Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu."
(QS. An-Najm: 23)
Relevansi: Kecemasan digital sering muncul karena mengikuti tren, popularitas, atau tekanan untuk konformitas di dunia maya. Ayat ini mengingatkan agar tidak terjebak dalam budaya konsumtif dan validasi eksternal, melainkan berpegang pada nilai ilahi.
Pentingnya Menjaga Pandangan dan Hati dari Hal yang Merusak
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
"Katakanlah kepada orang-orang beriman agar mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."
(QS. An-Nur: 30)
Relevansi: Di era digital, pandangan mudah terpapar konten negative pornografi, kekerasan, atau gaya hidup hedonis. Ayat ini menjadi dasar literasi digital berbasis akhlak: menjaga mata dan hati dari hal yang merusak iman dan mental.
Ajakan untuk Tidak Berputus Asa dan Selalu Bertawakal
وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
"Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir."
(QS. Yusuf: 87)
Relevansi: Remaja yang mengalami cyberbullying, penolakan sosial, atau perasaan tidak cukup baik di media sosial rentan mengalami depresi. Ayat ini memberi harapan spiritual: Allah selalu memberi jalan keluar, dan harga diri sejati berasal dari ketaatan, bukan jumlah "like".
Nilai Budaya Luhur: Amar Ma’ruf Nahi Munkar
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung."
(QS. Ali ‘Imran: 104)
Relevansi: Nilai budi pekerti luhur dalam budaya Indonesia seperti malu berbuat salah, menjaga nama baik, dan saling menasihati selaras dengan prinsip ini. Di dunia digital, umat Islam diajak menjadi agen kebaikan: menyebarkan konten edukatif, melawan hoaks, dan menjaga etika daring.

KESIMPULAN
Masa Depan: Menguasai, Bukan Dikendalikan
Fenomena saat ini adalah panggilan darurat bagi orang tua, guru, dan pemerintah. Agar bangsa Indonesia tidak menjadi konsumen yang dijajah oleh teknologi asing, dan agar generasi muda tidak menjadi anxious generation yang rapuh mentalnya, kita harus kembali pada strategi: menguasai teknologi dengan berlandaskan nilai luhur.
Menciptakan Anti-Anxiety Generation bukanlah dengan menolak teknologi, melainkan dengan menanamkan kedisiplinan digital yang berakar pada keimanan dan budi pekerti, sehingga mereka dapat memanfaatkan gawai sebagai alat, bukan sebagai tuan yang mengendalikan jiwa dan raga mereka.

Pernyataan Penegasan: Simpulkan bahwa krisis kesehatan mental akibat teknologi adalah ancaman nyata, tetapi Indonesia memiliki obat yang sudah ada sejak lama: agama dan budi pekerti.
Harapan: Ajak pembaca untuk menyadari kekayaan budaya bangsa dan menjadikannya benteng untuk membesarkan generasi yang kuat mental, berempati, dan siap menghadapi masa depan.
Nilai Islami: Imun Dalam Kehidupan
Al-Qur’an telah menyediakan “sistem imun spiritual” yang mampu melindungi generasi muda dari krisis mental akibat dunia digital. "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah: 286). Dalam menghadapi tantangan digital, Allah memberi kita iman sebagai benteng, akhlak sebagai pedoman, dan komunitas sebagai penopang modal utama yang telah diwariskan nenek moyang kita sejak dahulu kala.

PENUTUP
Menuju Generasi Anti Cemas, Indonesia tidak perlu mengimpor solusi Barat secara utuh. Kita memiliki modal budaya yang kaya: agama yang menenangkan jiwa dan budi pekerti luhur yang membentuk karakter tangguh. Dengan menghidupkan kembali nilai-nilai ini dalam konteks digital, kita bisa melahirkan Generasi Anti Cemas yakni generasi yang melek teknologi namun tetap berakar pada jati diri, berempati, dan berintegritas.
Seperti pesan leluhur: Budi luhur takkan punah, walau zaman berubah. Di tengah badai digital, nilai itulah yang akan menjadi mercusuar bagi anak-anak Indonesia.
Dengan menghidupkan dzikir, menjaga pandangan, tidak mengikuti hawa nafsu, dan memperkuat komunitas moral, umat Islam khususnya di Indonesia dapat membangun generasi anti cemas yang tangguh secara mental dan spiritual.