Menyusuri Kisah di Balik Artefak: Menguak Nilai Historis Koleksi Unggulan Museum Sang Nila Utama

Menyusuri Kisah di Balik Artefak: Menguak Nilai Historis Koleksi Unggulan Museum Sang Nila Utama
Koleksi Museum Sang Nila Utama Riau

PEKANBARU – Museum Sang Nila Utama menjadi salah satu pusat penyimpanan artefak budaya dan sejarah Melayu yang paling lengkap di Riau. Pada liputan Senin (8/12/2025), museum ini menampilkan beragam koleksi unggulan yang menyimpan nilai historis, spiritual, dan estetika yang tinggi, mulai dari replika Perahu Lancang Kuning, koleksi keramik, hingga benda-benda pusaka seperti keris dan artefak langka dari berbagai era peradaban.

Salah satu koleksi paling memikat perhatian adalah Bata Bertulis yang berasal dari Kompleks Candi Muara Takus, Kabupaten Kampar. Artefak berbahan batu pasir (sandstone) dengan dimensi 52 cm x 29 cm x 13 cm ini menjadi saksi bisu kehidupan spiritual masyarakat pada abad ke-11 hingga ke-13 Masehi. Keunikan benda ini terletak pada inskripsi aksara Pallawa berbahasa Sansekerta yang dipahat halus secara horizontal.

Tulisan pada artefak tersebut berbunyi “om ?h bighnanta k? hùm phat sv?h?”, sebuah varian mantra untuk Dewa Am?takundalin dalam ajaran Buddha Vajrayana. Mantra suci ini dipercaya berfungsi sebagai doa penolak bala dan penyucian diri. Para peneliti meyakini bahwa artefak ini ditanamkan sebagai komponen konsekrasi untuk melindungi bangunan suci dari berbagai gangguan, sekaligus memperkuat kesakralan Candi Muara Takus.

Tidak hanya artefak bercorak spiritual, Museum Sang Nila Utama juga menyimpan Piring Keramik Motif Hias Naga dari masa Dinasti Ming abad ke-15 hingga ke-17 Masehi. Piring porselen berdiameter 41 cm dengan tinggi 9,5 cm ini memukau dengan dominasi warna biru-putih serta relief naga biru dongker di bagian tengahnya. Motif bunga berkelopak tiga dan sulur-suluran yang mengelilingi pinggiran piring menjadi bukti tingginya seni hias Tiongkok kuno.

Kondisi piring yang masih sangat utuh menunjukkan bahwa benda ini dahulu bukan sekadar perabot rumah tangga, melainkan pajangan mewah di kediaman kalangan terpandang. Kehadiran keramik Dinasti Ming di Riau menjadi bukti kuat perdagangan transregional yang pernah menghubungkan Tiongkok dan Nusantara, termasuk Kerajaan-kerajaan Melayu di pesisir timur Sumatra.

Koleksi unik lainnya adalah Batu Giok Persegi Empat yang ditemukan di Bagansiapiapi, tepatnya di kediaman Kapitan Tionghoa. Batu berukuran 30 cm x 30 cm dengan berat 3,8 kg ini memuat relief Naga sebagai simbol kekuasaan, koin Cina lambang kemakmuran, serta simbol Patkwa (Yin Yang). Inskripsi pada batu menunjukkan angka tahun 1482 Masehi, lengkap dengan tulisan “Zhang Min” yang berarti “Panjang Umur”, sebuah ungkapan yang biasanya hanya diperuntukkan bagi kalangan bangsawan atau pejabat tinggi.

Batu giok ini disebut-sebut milik Letnan Ang Koen Joe, kapitan Tionghoa yang berpengaruh pada tahun 1890. Keberadaan artefak tersebut memperlihatkan status sosial pemiliknya yang tinggi dan perannya dalam mengatur kehidupan komunitas Tionghoa pada masa kolonial. Artefak ini sekaligus memperkaya narasi hubungan etnis dan sejarah sosial yang berkembang di Riau.

Pada kesempatan tersebut, Kepala UPT Museum Sang Nila Utama, Tengku Leni, menegaskan bahwa perawatan artefak tidak bisa dilakukan sembarangan. Setiap benda memiliki karakter material yang berbeda, sehingga metode konservasinya pun harus disesuaikan. 

“Kami sangat berhati-hati dalam menjaga koleksi museum. Setiap artefak memiliki nilai sejarah yang tidak ternilai, sehingga proses konservasi harus dilakukan secara ilmiah dan terukur,” ujar Leni.

Ia menjelaskan bahwa museum menerapkan dua metode konservasi utama, yakni preventif dan kuratif. 

“Konservasi preventif kami lakukan melalui pengaturan suhu, kelembapan, pencahayaan, dan kebersihan ruangan agar artefak tidak cepat rusak. Sementara konservasi kuratif dilakukan bila ada kerusakan ringan, seperti pembersihan karat pada logam atau perawatan keramik menggunakan bahan yang tidak merusak struktur aslinya,” pungkasnya.