Cipayung Plus dan Kolom Kelima

Cipayung Plus dan Kolom Kelima

Oleh: Deodatus Sunda Se (Direktur Institut Marhaenisme 27)

"General, con cuatro columnas avanzando hacia Madrid, ¿cuál tomará la ciudad?"
("Jenderal, dengan empat kolom bergerak menuju Madrid, mana yang akan merebut kota?")

"La quinta columna."
("Kolom kelima.")
Percakapan antara seorang wartawan dengan seorang jenderal Nasionalis pada perang saudara Spanyol, Emilio
Mola Vidal

Dari balik kegaduhan demonstrasi dan retorika progresif nan revolusioner yang kerapkali memenuhi aula, taman, dan ruang kampus, tersembunyi sebuah perubahan yang pelan namun pasti menggerogoti gerakan sosial Indonesia. Perubahan tersebut tidak datang dengan seragam atau warcry yang terang-terangan, melainkan dengan senyum muka familiar, jabat tangan erat, dan daftar prestasi organisatoris yang panjang. Inilah wajah "Fifth column" ala Indonesia hari ini: mantan aktivis, senior pergerakan, dan organisasi-organisasi mapan seperti yang tergabung dalam Cipayung Plus, yang baik secara sadar atau tanpa disadari telah beralih fungsi dari penggerak perubahan menjadi penjaga status quo.

Konsep "La quinta columna", yang lahir dalam gejolak Perang Saudara Spanyol 1936, menemukan resonansi yang pahit dalam konteks Indonesia hari ini. Bukan sebagai pasukan fasis yang bersembunyi, tetapi sebagai sebuah kecerdasan adaptif sistem kekuasaan itu sendiri yang masuk jauh ke dalam jiwa gerakan, melunakkannya dari dalam, dan akhirnya menetralisir ancaman yang mungkin ditimbulkannya. Bahaya terbesar bukan lagi hanya terletak pada represi brutal aparat atau sensor ketat negara, melainkan juga pada kooptasi yang halus, pada proses dimana bahasa perjuangan dikosongkan maknanya dan diisi dengan logika pengelolaan, dimana keberpihakan pada rakyat yang tertindas secara perlahan tergantikan oleh keberpihakan pada kelangsungan karier, koneksi, dan kemapanan personal.

Pada mulanya adalah niat yang tulus demi kepentingan bangsa dan umat. Organisasi-organisasi Cipayung Plus, dengan sejarahnya masing-masing yang membentang sejak masa awal kemerdekaan hingga Orde Baru, adalah benteng perlawanan. Mereka adalah penyambung lidah rakyat yang terpinggirkan dan tertindas, pengkritik kebijakan yang sewenang-wenang, dan kawah candradimuka bagi calon-calon pemimpin bangsa masa depan yang diharapkan membawa angin perubahan. Proses kaderisasi yang ketat, diskusi-diskusi ideologis yang berapi-api, dan aksi-aksi turun ke jalan adalah makanan sehari-hari. Dalam konteks ini, baru muncul kosa-kata yang akhir-akhir ini seringkali dibicarakan tanpa malu: "pengolah". yang dapat diartikan  seseorang yang menganggap dirinya cukup bijak dan

strategis untuk berunding dengan penguasa, membuka pintu dialog, dan mencegah benturan frontal yang bisa berakibat pada represi massal. Peran ini awalnya dianggap perlu, sebuah taktik dalam medan perjuangan yang kompleks. Namun, disitulah bibit masalah mulai tumbuh. Logika mediator yang pada mulanya bersifat taktis, secara bertahap berubah menjadi strategis. Keberhasilan organisasi gerakan hari ini seringkali diukur bukan pada sejauh mana tuntutan rakyat dipenuhi, tetapi pada seberapa "didekati" dan "didengarkan" organisasi itu oleh kekuasaan. Ukuran prestasi bergeser dari seberapa kuat tekanan akar rumput dibangun, menjadi seberapa sering ketua umum diundang ke istana atau di wawancara di televisi nasional.

Perubahan ukuran ini adalah titik kritis. Ketika akses ke ruang elite menjadi lebih bernilai daripada kerja-kerja advokasi di daerah yang terdampak langsung oleh penindasan, maka keberpihakan pun mulai bergeser. Rakyat, yang semula adalah subjek perjuangan dalam melawan penindasanya, perlahan berubah menjadi objek proyek. Tangisan mereka tentang ketidakadilan agraria, upah yang tidak layak, atau pelayanan kesehatan dan pendidikan yang mahal, tidak lagi dibaca sebagai suatu seruan untuk melakukan pembongkaran sistem yang telah usang, tetapi sebagai "masalah sosial" yang perlu "dikelola". Dari sinilah lahir reduksi besar-besaran terhadap perjuangan. Tuntutan reforma agraria total, misalnya, direduksi menjadi program sertifikasi tanah atau pelatihan kewirausahaan untuk petani. Tuntutan kedaulatan pangan direduksi menjadi proyek pertanian skala kecil yang didanai pemerintah melalui kelompok tani muda. Tuntutan industrialisasi nasional dan penghapusan utang direduksi menjadi wacana good governance dan transparansi anggaran. Bahasa yang digunakan masih sama: keadilan, kemandirian, kesejahteraan rakyat. Namun, jiwa dan sasaran tembaknya telah berganti. Musuhnya bukan lagi tatanan ekonomi-politik yang menindas, tetapi "korupsi", "inefisiensi", atau "kurangnya kapasitas". Dengan kata lain, sistem itu sendiri tidak lagi dipersoalkan; yang dipersoalkan adalah cara mengelolanya agar lebih "manusiawi" dan "efisien".

Hal ini ditambah lagi transisi dari aktivis menjadi pengabdi “Don" yang mana adalah konsekuensi logis dari reduksi ini. "Don" dalam konteks ini adalah metafora untuk jaringan kekuasaan yang lebih besar: para politisi yang membutuhkan basis massa, pengusaha yang membutuhkan legitimasi sosial, atau bahkan lembaga donor internasional yang memiliki agenda tertentu. Jaringan mutualisme ini terjalin rapi. Mantan aktivis yang kini duduk di parlemen atau menjadi pejabat kementerian membutuhkan mantan kader organisasinya bahkan lebih parah lagi kader aktif untuk memobilisasi dukungan atau menciptakan opini. Sebaliknya, organisasi tersebut membutuhkan akses dan sumber daya dari sang mantan aktivis yang kini berkuasa. Dalam lingkaran inilah, kemandirian gerakan dikorbankan. Sikap kritis menjadi tumpul karena terikat oleh hutang budi, hubungan personal, dan kepentingan proyek. Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat, seperti UU Cipta Kerja atau banyak revisi undang-undang yang jelas tidak menunjukan keberpihakannya, suara organisasi-organisasi ini seringkali terdengar ambigu, terfragmentasi, atau bahkan diam. Mereka terjebak dalam dilema: mengkritik keras berarti memutus hubungan dengan "kawan" di dalam kekuasaan yang mungkin menjadi sumber dana atau perlindungan di masa depan. Hasilnya adalah pembelahan diri yang tragis: di tingkat akar

rumput, kader-kader muda mungkin masih berteriak lantang, tetapi di tingkat kepemimpinan pusat, yang terjadi adalah lobi-lobi sunyi dan kompromi.

Lebih berbahaya lagi, kelompok ini sering menjadi "pintu masuk" yang legitim bagi kekuasaan dan kapital untuk menjinakkan gerakan yang lebih radikal. Saat muncul gerakan protes dari serikat buruh, organisasi masyarakat adat, atau aliansi mahasiswa yang lebih militan, peran organisasi cipayung plus seringkali menjadi "penengah" atau "pemberi saran". Mereka menawarkan "jalan tengah" yang pada hakikatnya adalah pencairan tuntutan. Mereka menjadi semacam "stabilisator" sistem, memastikan bahwa kemarahan rakyat tidak meledak hingga meruntuhkan tembok-tembok istana, tetapi cukup hanya untuk kemudian dialirkan ke saluran-saluran aman seperti seminar, Focus Grup Discussion, atau proyek percontohan. Dalam bahasa Gramsci, mereka adalah bagian dari "masyarakat sipil" yang justru berperan dalam melanggengkan hegemoni negara dan kapital, bukannya meruntuhkannya. Mereka adalah garda depan dalam proses depolitisasi, mengubah konflik politik yang tajam menjadi masalah teknis yang bisa diatur.

Oleh karena itu, keberpihakan pada rakyat dalam arti yang sejati hari ini menuntut lebih dari sekadar romantisme masa lalu atau pengulangan jargon-jargon usang. Tentu saja menuntut keberanian untuk melakukan otokritik yang pedas terhadap kecenderungan organisasi cipayung plus menjadi "kolom kelima" di dalam rumah sendiri. Keberpihakan sejati menurut saya adalah menolak godaan untuk diakomodasi ke dalam sistem yang secara lantang kita kritik. menurut saya juga, ini adalah komitmen nyata untuk selalu berpihak pada yang paling tertindas, terhina, dan terpinggirkan bukan karena mereka adalah "klien" atau "penerima manfaat" proyek kita, tetapi karena mereka adalah subjek sejarah yang berhak menentukan nasibnya sendiri. Ini berarti mendengarkan dengan rendah hati suara petani di desa yang menolak tambang, buruh pabrik yang mogok menuntut kepastian kerja, nelayan tradisional yang kehilangan lautnya akibat proyek strategis nasional, dan perempuan miskin kota yang berjuang menghidupi keluarganya. Bukan untuk kemudian kita "olah" suara mereka menjadi proposal pendanaan yang rapi, tetapi untuk kita amplifikasi dan jadikan panduan aksi politik yang nyata.

Gerakan sosial yang berintegritas harus berani memutus mata rantai kooptasi ini. Gerakan harus mampu membangun basis ekonominya sendiri yang mandiri, mengandalkan sumber daya dari kolektifnya sendiri sebisa mungkin, dan menolak pendanaan yang datang dengan kepentingan dari korporasi atau lembaga donor yang berpotensi membelokkan agenda. Serta secara nyata harus menerapkan akuntabilitas horizontal, dimana setiap kader, terutama para pemimpin, dapat dimintai pertanggungjawaban secara langsung oleh basis, bukan hanya oleh segelintir elite internal. Yang terpenting, Gerakan harus kembali pada prinsip dasar: bahwa perubahan sosial yang nyata hanya bisa datang dari kekuatan terorganisir rakyat yang maju, bersatu, dan mengakar itu sendiri, bukan dari hasil lobi di mall di bilangan senayan atau dari koneksi dengan Don. Perlawanan terhadap "kolom kelima" gaya baru ini adalah perlawanan untuk mempertahankan jiwa perlawanan, untuk menjaga api tetap menyala, dan untuk memastikan bahwa perjuangan demi keadilan dan kedaulatan rakyat tidak berakhir di meja perundingan yang penuh kompromi, tetapi di dunia baru yang benar-benar dibangun dari,

oleh, dan untuk mereka yang selama ini terpinggirkan. Hanya dengan kesadaran inilah kita bisa menghindari takdir tragis para revolusioner Spanyol 1936, yang dikalahkan bukan hanya oleh musuh di depan mata, tetapi juga oleh kecurigaan dan pengkhianatan dari dalam barisannya.