Transformasi Hebat, Pontensi Tempuling International Airport
Penulis: Dr. H. Agus Maulana, SE., MM (agustus17maulana@gmail.com)
Dosen Unisi, Pengamat Ekonomi Riau, Anggota Permigastara Pusat
Berdasarkan Peraturan Bersama Gubernur Riau dan Bupati Indragiri Hilir No. 02/2006 dan 07/2006 Bandar Udara Tempuling, yang dibangun berdasarkan Peraturan Bersama Gubernur Riau dan Bupati Indragiri Hilir Nomor 02 Tahun 2006 dan 07 Tahun 2006, merupakan proyek strategis yang dirancang untuk melayani pesawat BAE-146 (84–88 seat) dan Fokker-50 (50 seat) guna meningkatkan efisiensi transportasi dan mendukung pembangunan infrastruktur di Kabupaten Indragiri Hilir. Dengan luas lahan 200,74 hektar di Desa Sungai Salak, Kecamatan Tempuling, bandara ini awalnya diharapkan menjadi gerbang udara bagi wilayah pesisir timur Sumatera. Namun, selama lebih dari 10 tahun, fasilitas bandara mengalami keterbengkalaian dan kerusakan fisik, termasuk landasan pacu yang retak, navigasi rusak, dan terminal yang tidak terawat. Artikel ini mengkaji kelayakan transformasi Bandara Tempuling menjadi bandara internasional melalui pendekatan komprehensif: teknis, ekonomi, kebijakan, dan sosial.
Meskipun tantangan besar ada, transformasi ini layak secara strategis jika didukung oleh investasi publik-swasta, revitalisasi infrastruktur, dan integrasi dengan ekonomi lokal. Artikel ini mengusulkan model revitalisasi bertahap dengan fokus pada penerbangan regional terlebih dahulu, sebelum ditingkatkan ke status internasional. Rekomendasi mencakup perbaikan landasan, peningkatan navigasi, pengembangan agrowisata pendukung, dan kerja sama dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Studi ini dapat dirumuskan bahwa Bandara Tempuling memiliki potensi menjadi bandara internasional kecil (small international airport) jika dikelola dengan pendekatan inovatif, inklusif, dan berkelanjutan.
Bandar Udara Tempuling dibangun pada tahun 2006 berdasarkan Peraturan Bersama Gubernur Riau dan Bupati Indragiri Hilir Nomor 02 Tahun 2006 dan 07 Tahun 2006, sebagai respons terhadap isolasi geografis dan minimnya akses transportasi di wilayah pesisir timur Sumatera. Dengan luas 200,74 hektar di Desa Sungai Salak, bandara ini dirancang untuk melayani pesawat berkapasitas menengah seperti BAE-146 dan Fokker-50, yang mampu mengangkut 50–88 penumpang. Tujuannya adalah Meningkatkan efisiensi waktu transportasi. Mendukung pembangunan infrastruktur dan ekonomi lokal. Menghubungkan wilayah terpencil dengan pusat ekonomi.
Namun, sejak 2013, operasional bandara dihentikan, dan fasilitasnya mengalami keterbengkalaian selama lebih dari 10 tahun. Landasan pacu retak, sistem navigasi rusak, terminal terbengkalai, dan vegetasi liar menguasai area. Padahal, potensi wilayah ini sangat besar: dekat dengan Selat Malaka, berbatasan dengan Malaysia, dan kaya sumber daya alam (kelapa, padi, sawit).
Pengamat mengajukan beberapa pertanyaan: 1. Apakah Bandara Tempuling layak dihidupkan kembali sebagai bandara komersial? 2. Bagaimana transformasi Bandara Tempuling menjadi bandara internasional dapat direncanakan secara realistis? 3. Apa model revitalisasi yang paling efektif?
Adapun Kondisi Saat Ini: Fasilitas Terbengkalai diantaranya Landasan Pacu (1.200 m) | Retak, rusak, ditumbuhi rumput liar. Terminal Rusak, atap bocor, listrik mati. Navigasi & Komunikasi kondisi non fungsional. Apron & Taxiway keadaan Retak, tidak digunakan. Akses Jalan kondisi Aspal rusak, banjir saat hujan. Kondisi ini sebagai bahan baku kajian kelayakan Tempuling.
Penerbangan selama 30 menit ke Pekanbaru yang pernah berjalan sebelum tahun 2013, tapi alangkah sedihnya sekarang hanya jadi tempat yang tidak berguna.
Analisis Kelayakan Transformasi Menjadi Bandara Internasional secara Kelayakan Teknis dengan Panjang Landasan: 1.200 m hanya cukup untuk pesawat Fokker-50 dan ATR 72, tetapi tidak cukup untuk pesawat internasional yang membutuhkan (minimal 1.800 m).
Bagaimana Solusinya ? Dengan Perpanjangan landasan menjadi 1.800 m hingga 2.000 m. Rekonstruksi dengan beton tahan air (karena daerah gambut) dengan menggunakan prefabricated vertical drain (PVD) dan geotextile reinforcement. Instalasi sistem navigasi ILS (Instrument Landing System). Melakukan Revitalisasi bandara terbengkalai lebih murah daripada membangun baru.(IATA, 2022).
Kelayakan Ekonomi yang diperhitungkan dengan estimasinya adalah Perbaikan Landasan Rp 400 miliar, Rehab Bangunan Terminal Rp 200 miliar, Sistem Navigasi & ATC Rp 150 miliar, Jalan Akses & Drainase Rp 100 miliar, sehingga Total Investasi berjumlah ±850 miliar. Adapun Sumber Pendanaan mengacu pada campuran dari empat sumber dana berbeda yang dialokasikan untuk membiayai suatu proyek atau program. Berikut adalah penjelasan untuk setiap sumber dana:
APBN (40%) adalah singkatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam konteks ini, 40% dari total biaya proyek akan didanai oleh dana publik yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat melalui pajak, penerimaan negara bukan pajak, dan lain-lain. Pendanaan dari APBN menunjukkan komitmen pemerintah untuk memprioritaskan proyek ini, menganggapnya sebagai bagian dari strategis pembangunan nasional (SPN).
KPBU (30%) adalah singkatan dari kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha. Ini adalah skema pendanaan di mana 30% dari biaya proyek akan ditanggung oleh sektor swasta. Dalam model ini, pemerintah dan perusahaan swasta bekerja sama untuk merancang, membangun, membiayai, mengoperasikan, dan memelihara proyek infrastruktur. KPBU bertujuan untuk mengurangi beban anggaran negara, memanfaatkan keahlian sektor swasta, dan mendistribusikan risiko proyek.
CSR (PT RAPP, PT PTPN, PT PSG) (20%) adalah singkatan dari Corporate Social Responsibility. Ini adalah komitmen etis dari perusahaan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan dengan memberikan kontribusi dana. Dalam kasus ini, 20% dari dana proyek akan berasal dari kontribusi sukarela dua perusahaan besar, yaitu PT RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper), PT PTPN (Perkebunan Nusantara) dan PT Pulau Sambu Grup. Partisipasi mereka menunjukkan bahwa proyek ini juga memiliki dukungan kuat dari sektor korporasi dan dianggap penting untuk pembangunan sosial dan lingkungan di wilayah tersebut.
Hibah ASEAN (10%) yang mana Hibah ASEAN merujuk pada bantuan dana sebesar 10% dari sebuah negara atau lembaga di kawasan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Hibah ini biasanya diberikan untuk proyek-proyek yang memiliki manfaat regional atau yang sejalan dengan tujuan pembangunan bersama di ASEAN. Sumber dana ini menandakan bahwa proyek yang dibiayai tidak hanya penting bagi Indonesia, tetapi juga memiliki relevansi internasional dalam konteks Asia Tenggara.
Proyeksi Pendapatan (2030) diantaranya Penumpang: 500.000/tahun (rute regional: Pekanbaru, Dumai, Melaka), Revenue: Rp300 miliar/tahun (parkir, retail, iuran). BCR (Benefit-Cost Ratio) 1.6 tergolong layak secara ekonomi (OECD, 2021). Strategi Transformasi Menuju Bandara Internasional ini harus menggunakan Model Revitalisasi Bertahap dengan biaya dan waktu yang berjalan secara beriringan diantaranya 1. Revitalisasi Dasar melakukan Perbaikan landasan, jalan, Listrik dengan biaya Rp300 miliar memakan waktu 2 tahun, yang ke-2. Penerbangan Domestik dengan Rute Pekanbaru-Tempuling (ATR 72) menelan biaya Rp200 miliar dengan waktu 1 tahun. Ke-3. Penerbangan Regional dengan Rute Tempuling-Melaka (Malaysia) membutuhkan biaya Rp350 miliar berjalan waktu selama 2 tahun, yang terakhir ke-4. Bandara Internasional Konektivitas ke Singapura, Johor mendangalami tambahan biaya Rp500 miliar menelan waktu 3 tahun. Sembari berjalan tahanpan di tahun ketiga Bandara sudah dapat digunakan untuk penerbangan domestic dan regional namun belum untuk Internasional.
Bagaimana Integrasi dengan Ekonomi Lokal ? Hal ini menguntungkan pada sektor Agrowisata didukung adanya Wisata kelapa, padi, dan sawit di sekitar bandara. Logistik Udara: Ekspor produk lokal (minyak kelapa, natadecoco, kelapa kopyor, VCOl). Pelatihan Penerbangan: Kerja sama dengan Politeknik Penerbangan bahkan mempunyai peluang untuk membuka SMK Penerbangan di Kecamatan Tempuling sebagai persiapan SDM. Bandara harus menjadi pusat pertumbuhan, bukan hanya tempat transit. (Gössling & Peeters, 2015).
Studi Kasus Komparatif di Beberapa Negara diantaranya Bandara Sintang (ID) di Indonesia Kondisi Terbengkalai kemudian dilakukan Revitalisasi + rute regional Model KPBU dan akhirnya sukses. Bandara Sabetta (RU) di Rusia status tempat Terpencil, ekstrem sebagai Bandara LNG Internasional sebagai Infrastruktur mendukung ekonomi negara Rusia. Bandara Melaka (MY) di Malaysia berstatus Kecil, domestic yang kemudian ditingkatkan untuk wisatawan Cina yang berfokus pada pasar regional. Bandara Cochin (IN) di India berstatus Konvensional kemudian menjadi bandara hijau 100% solarcell sistem dengan Keberlanjutan energi dan sukses.
Tantangan dan Risiko yang akan dihadapi diantaranya 1. Ekologis: Lokasi dekat gambut berisiko penurunan tanah dan kebakaran. 2. Sosial: Potensi konflik lahan dengan masyarakat adat. 3. Ekonomi: Ketergantungan pada subsidi pemerintah di tahap awal. 4. Operasional: Minimnya SDM penerbangan lokal.
Mitigasi yang dapat dilakukan dengan Zero drainage policy untuk gambut, Forum partisipasi masyarakat. Pelatihan SDM lokal. Kemitraan dengan maskapai regional (Batik Air, Firefly MY).
Dalam hal ini Pengamat memberikan Rekomendasi Strategis Lanjutkan revitalisasi dengan tahapan jelas dimulai tahun ini 2025 kemudian Fokus pada penerbangan domestik dulu Baru kemudian regional dan internasional. Perbaikan Infrastruktur Prioritas Perpanjangan landasan ke 1.800 m. dan Instalasi sistem navigasi modern. Tahun pertaman ini juga melakukan Kerja Sama Internasional: MOU dengan Malaysia untuk rute Tempuling–Melaka. Dukungan dari ASEAN Connectivity Fund. Integrasi dengan Ekonomi Hijau: Bandara berbasis energi surya. Agrowisata sebagai daya tarik tambahan. Tidak Lupa melakukan Monitoring Independen: yaitu Satuan Tugas Revitalisasi Bandara Tempuling (Pemprov, Kemenhub, Akademisi, NGO).
Pengamat dapat menarik kesimpulan, Bandar Udara Tempuling meskipun saat ini terbengkalai, memiliki potensi besar untuk dihidupkan kembali sebagai bandara internasional skala kecil. Dengan luas lahan 200,74 hektar dan lokasi strategis di pesisir timur Sumatera, bandara ini dapat menjadi gerbang udara bagi wilayah Indragiri Hilir dan kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia. Studi ini menunjukkan bahwa transformasi ini layak secara teknis dan ekonomi, terutama jika dilakukan secara bertahap dan didukung oleh kerja sama publik-swasta. Revitalisasi bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga pembangunan manusia, ekonomi lokal, dan konektivitas regional. Dengan komitmen politik dan manajemen proyek yang baik, Bandara Tempuling dapat bangkit dari keterbengkalaan menjadi simbol Indragiri Hilir sebagai kemajuan Riau di era konektivitas udara ASEAN.