Inhu– Praktik pembalakan liar atau illegal logging yang terjadi di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau, telah menimbulkan dampak ekologis yang sangat serius. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melalui Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPT KPH) Indragiri mengungkapkan bahwa temuan 300 meter kubik kayu olahan ilegal setara dengan kerusakan parah dan hilangnya sekitar 120 pohon.
Temuan kayu diduga ilegal dalam jumlah besar ini diungkap setelah tim gabungan dari Polres Indragiri Hulu, Polres Indragiri Hilir, UPT KPH Indragiri, dan Security PT. MSK, melakukan operasi penindakan. Operasi tersebut dipimpin langsung oleh Kasat Reskrim Polres Inhu, AKP Arthur Joshua Toreh, dan bergerak menggunakan transportasi air (pompong) menyusuri aliran sungai di Kecamatan Kuala Cenaku.
Tim teknis UPT KPH Indragiri, yang diwakili oleh Penelaah Teknis Kebijakan Syamsul Rizal dan Waltur Nainggolan, menegaskan bahwa kerusakan lingkungan yang ditimbulkan sangat signifikan.
“Dari temuan itu, yang jelas lingkungan pasti rusak dan ekosistemnya terganggu. Saat ini kami masih menghitung estimasi jumlah pohon yang tumbang serta luasan lahan terbuka akibat aktivitas illegal logging tersebut,” ujar Syamsul Rizal kepada media, dikutip Senin (15/12).
Pengungkapan kasus ini dilakukan oleh tim gabungan Polres Indragiri Hulu, Polres Indragiri Hilir, UPT KPH Indragiri, serta Security PT. MSK, yang dipimpin langsung Kasat Reskrim Polres Inhu AKP Arthur Joshua Toreh.
Tim bergerak menggunakan transportasi air (pompong) menyusuri aliran sungai dari Pos Security PT. MSK di wilayah Sungai Simpang Kanan menuju lokasi-lokasi yang dicurigai sebagai titik penumpukan kayu hasil illegal logging.
Dalam operasi tersebut, tim menemukan dua lokasi tumpukan kayu olahan berupa sortimen papan dan broti. Berdasarkan hasil overlay dengan peta kawasan hutan dan peta perizinan kehutanan, dua titik tumpukan kayu berada di kawasan Hutan Produksi (HP) dan areal konsesi PT. MSK.
Sementara tiga titik rakitan kayu berada di kawasan HP dan areal konsesi PT. SPA. Tim kemudian kembali menemukan tumpukan utama kayu olahan ilegal pada koordinat 00°01’17,1” S - 102°40’59,1” E, yang juga berada di kawasan HP dan areal konsesi PT. SPA.
Hasil pemeriksaan dan pengukuran menunjukkan bahwa kayu olahan ilegal tersebut merupakan jenis meranti, yang termasuk Kelompok Jenis Meranti/Komersial Satu, dengan total kubikasi diperkirakan mencapai ±300 meter kubik.
KLH melalui UPT KPH Indragiri menjelaskan bahwa estimasi kerusakan hutan akibat illegal logging ini mencapai sekitar 120 batang pohon dengan luasan lahan terbuka sekitar 1,15 hektare.
Perhitungan tersebut mengacu pada hasil survei Fakultas Kehutanan Universitas Lancang Kuning (Unilak) tahun 2018, yang mencatat kerapatan rata-rata hutan produksi mencapai 104 pohon per hektare dengan volume rata-rata 238 meter kubik per hektare.
“Dengan diameter pohon yang ditebang rata-rata 30 hingga 60 sentimeter dan estimasi kubikasi 2,5 meter kubik per pohon, maka 300 meter kubik kayu setara dengan sekitar 120 pohon. Dari kerapatan pohon tersebut, estimasi lahan terbuka mencapai lebih kurang 1,15 hektare,” jelas Syamsul Rizal.
Lokasi pembalakan ini diketahui berjarak sekitar 7 kilometer dari Suaka Margasatwa Kerumutan, salah satu kawasan konservasi penting di Riau.
Kayu diduga diambil dari kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) di luar areal konsesi PT. SPA, dengan jarak penebangan sekitar 2 kilometer dari titik tumpukan kayu, berdasarkan temuan tunggul-tunggul pohon di lapangan.
Terkait penanganan barang bukti, KLHK mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, khususnya Pasal 44. Pasal itu, mengatur bahwa kayu hasil pembalakan liar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau sosial, atau dilelang apabila disita negara karena berisiko rusak dan memerlukan biaya penyimpanan tinggi.
“KLHK menegaskan komitmennya untuk terus memperkuat pengawasan dan penegakan hukum kehutanan, serta mendukung langkah tegas aparat penegak hukum dalam menindak praktik illegal logging yang mengancam kelestarian hutan dan ekosistem di Riau,” tuturnya