Problem Struktural Program Ekonomi Kerakyatan: Kritik terhadap Pendekatan Top-Down Koperasi

Problem Struktural Program Ekonomi Kerakyatan: Kritik terhadap Pendekatan Top-Down Koperasi

_Oleh: Apriansyah Wijaya, S.Sos_

Pemerintah Republik Indonesia, melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2025, secara resmi menargetkan pembentukan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes) di seluruh Indonesia. Ini merupakan salah satu program prioritas Presiden Prabowo Subianto, sejajar dengan agenda besar seperti Makan Bergizi Gratis dan Danantara. Rencananya, pada 12 Juli 2025 yang bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional, program ini akan diluncurkan secara resmi oleh Presiden. Di atas permukaan, ini tampak seperti terobosan ambisius dalam upaya pemerataan ekonomi nasional. Namun di balik kemegahan angka dan peluncuran simbolik, terdapat serangkaian persoalan mendasar yang layak dikritisi secara serius.

Tujuan utama dari pembentukan Kopdes Merah Putih sebagaimana tercantum dalam Inpres adalah untuk memperkuat ketahanan pangan dan memperluas pemerataan ekonomi. Pemerintah menyebutkan bahwa pembiayaan koperasi ini akan bersumber dari pinjaman bank milik negara (Himbara), dengan plafon maksimal Rp3 miliar per unit, yang wajib dikembalikan dalam waktu enam tahun. Jika seluruh koperasi mengakses dana maksimal tersebut, maka potensi pembiayaan mencapai Rp240 triliun, angka yang tidak bisa dianggap ringan, baik dari sisi fiskal maupun risiko keuangan jangka menengah.

Namun pertanyaan kritis yang perlu diajukan bukan hanya menyangkut dari mana uang itu berasal, melainkan bagaimana koperasi-koperasi itu dibentuk. Dalam waktu yang sangat singkat, hanya sekitar tiga bulan, pemerintah mengklaim telah berhasil membentuk lebih dari 80.000 koperasi. Angka ini tentu mencengangkan, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran tentang proses di baliknya. Jika instrumen birokrasi negara bekerja dalam logika “perintah dan pemenuhan target”, maka besar kemungkinan pendekatan yang ditempuh bersifat top-down, teknokratis, dan administratif. Dalam skenario seperti itu, partisipasi masyarakat sebagai ruh utama koperasi akan tersisih demi mengejar pemenuhan kuantitas semata.

Hal ini mengindikasikan suatu ketegangan mendasar antara semangat koperasi sebagai bentuk ekonomi kerakyatan dan pendekatan pemerintah yang cenderung menyeragamkan dari atas. Padahal, koperasi sejatinya adalah entitas ekonomi yang bersifat sukarela, berbasis pada kebutuhan dan inisiatif anggotanya. Membentuk koperasi tanpa melibatkan kehendak dan kesiapan anggota sama saja dengan membangun rumah tanpa fondasi.

Ketergesaan pembentukan koperasi tanpa pendampingan, pendidikan koperasi, dan pelatihan manajerial yang memadai akan menciptakan kelembagaan yang rapuh. Bahkan lebih jauh, hal ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap koperasi itu sendiri, bukan hanya karena risiko kegagalan, tetapi juga karena koperasi dipersepsikan sebagai proyek pemerintah semata, bukan milik kolektif warga.

Yang juga patut dipertanyakan secara kritis adalah skema pembiayaan koperasi ini. Dengan tidak adanya alokasi langsung dari APBN dan APBD, beban pembiayaan sepenuhnya ditumpukan pada skema pinjaman dari perbankan milik negara. Artinya, koperasi sebagai entitas hukum akan membawa beban kredit dalam nominal besar sejak awal. Dalam sistem perbankan, pinjaman semacam ini tentu disertai kewajiban pengembalian, bunga, dan risiko hukum jika terjadi gagal bayar.

Pertanyaannya: apakah seluruh koperasi tersebut memiliki kesiapan kelembagaan, model bisnis yang matang, dan kapasitas manajerial yang memadai untuk mengelola pinjaman sebesar itu? Tanpa analisis risiko dan studi kelayakan yang komprehensif, skema pembiayaan ini justru berpotensi menjerumuskan koperasi ke dalam kegagalan sistemik. Koperasi tidak sedang dibantu berkembang, tetapi didorong tumbuh dengan beban utang sejak hari pertama.

Lebih berbahaya lagi jika proyek ini dijalankan semata sebagai pembuktian keberhasilan pemerintah di awal masa jabatan. Ketika angka-angka dijadikan ukuran utama, maka keberhasilan akan dinilai dari jumlah koperasi yang terbentuk, bukan dari berapa banyak yang bertahan, tumbuh, dan memberi manfaat nyata bagi anggotanya. Dalam kerangka seperti itu, koperasi berubah menjadi instrumen legitimasi politik, bukan sarana pemberdayaan ekonomi rakyat.

Logika pembangunan yang terlalu mengedepankan kecepatan dan angka kuantitatif ini justru mengingkari semangat koperasi yang berbasis proses sosial, pembelajaran bersama, dan kepemilikan kolektif. Koperasi tidak bisa dibentuk secara massal dalam waktu singkat layaknya proyek infrastruktur. Ia harus ditumbuhkan dengan pendekatan partisipatif, melalui pendidikan ekonomi, pengorganisasian komunitas, dan pembentukan kepemimpinan yang akuntabel.

Dalam semangat pembangunan nasional yang berkeadilan, koperasi seharusnya menjadi pilar utama ekonomi rakyat. Tetapi menjadikan koperasi sebagai proyek instruksi yang terburu-buru hanya akan menghasilkan entitas kosong, berbadan hukum tetapi tanpa jiwa. Kita menyaksikan bagaimana negara berusaha membentuk kelembagaan rakyat tanpa memberikan ruang tumbuh bagi kesadaran rakyat itu sendiri. Maka tak mengherankan jika nanti banyak koperasi yang terbentuk hari ini justru tak mampu bertahan esok hari.

Apabila negara betul-betul ingin membangun ekonomi berbasis koperasi, maka pendekatan yang digunakan harus diubah secara fundamental. Pendidikan koperasi, pelatihan kewirausahaan, pendampingan hukum dan keuangan, serta penumbuhan kesadaran kolektif harus menjadi fondasi utama. Negara tidak boleh sekadar mengeluarkan perintah, tetapi mesti hadir sebagai fasilitator yang mendengarkan dan memberdayakan.

Sebab, dalam koperasi, tidak cukup hanya ada struktur. Harus ada partisipasi. Tidak cukup hanya ada dana. Harus ada daya. Dan tidak cukup hanya ada target. Harus ada proses.

Jika negara sungguh-sungguh berkomitmen pada pembangunan koperasi yang sejati, maka ia harus bersedia melepaskan logika komando, dan mulai memeluk kembali semangat rakyat: tumbuh perlahan, tapi kuat mengakar.

Ikuti Seribuparitnews.com di GoogleNews

Berita Lainnya

Index