Diskusi Pra-Konfercab DPC GMNI Jakarta Selatan: Menegakkan Supremasi Sipil atau Mempertahankan Kekuasaan?

Diskusi Pra-Konfercab DPC GMNI Jakarta Selatan: Menegakkan Supremasi Sipil atau Mempertahankan Kekuasaan?

Jakarta,  – Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) Jakarta Selatan menggelar diskusi pra-Konfercab bertajuk “Reformasi Kepolisian: Menegakkan Kembali Supremasi Sipil atau Mempertahankan Kekuasaan” di Sekretariat GMNI Jaksel, Rabu (2/10).

Diskusi menghadirkan berbagai pemateri dari kalangan akademisi, pengamat, hingga pegiat gerakan sipil, di antaranya:

Antonius Danar (Strategi Institute)


Ray Rangkuti (Pengamat Politik)


Prof. Muradi (Guru Besar Ilmu Pemerintahan UNPAD)


Romo Setyo (Gerakan Nurani Bangsa)


Diskusi dipandu oleh Lotfy Konyora, kader GMNI Jaksel.
Romo Setyo menekankan bahwa reformasi kepolisian tidak hanya menyentuh aspek teknis, tetapi juga kultural dan struktural. Dengan mengutip teori Pierre Bourdieu, ia menilai bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme telah menjadi habitus dalam tubuh kepolisian. Menurutnya, perubahan hanya mungkin terjadi melalui “paksaan sejarah” dan revolusi ilmiah


Prof. Muradi memaparkan bahwa kepemimpinan Kapolri Listyo Sigit telah melewati empat gelombang krisis – mulai kasus Sambo, Kanjuruhan, Teddy Minahasa, hingga kematian driver ojol – yang seharusnya menjadi cermin kegagalan reformasi internal. Ia menekankan pentingnya reposisi struktural, memperkuat pengawasan Kompolnas, membatasi jabatan polisi aktif di institusi sipil, serta memendekkan masa jabatan Kapolri maksimal tiga tahun.

Ray Rangkuti menyoroti lemahnya desain institusional kepolisian dalam sistem ketatanegaraan. Ia menegaskan bahwa mekanisme fit and proper test di DPR justru melahirkan Kapolri yang berutang budi secara politik. Reformasi, menurutnya, harus dimulai dengan pencopotan Kapolri Listyo Sigit. Ia juga menyoroti kriminalisasi terhadap lebih dari 900 aktivis, yang mencerminkan keberpihakan 

Antonius Danar menyoroti persoalan historis reformasi kepolisian sejak dipisahkan dari TNI. Ia mengutip Gus Dur yang menyebut hanya ada tiga polisi baik: “Polisi Tidur, Jenderal Hoegeng, dan Patung Polisi.” Menurutnya, munculnya Tim Reformasi Kepolisian dari internal justru lebih menyerupai kudeta politik. Reformasi, tegasnya, hanya mungkin jika dimulai dari pencopotan Kapolri.
 

Ketua DPC GMNI Jakarta Selatan, Dendy, menegaskan bahwa Presiden harus berani mencopot Listyo Sigit sebagai Kapolri. Selama kepemimpinannya, kepolisian tidak hanya menjadi alat status quo, tetapi juga menjadi institusi yang melindungi kepentingan modal dengan mengorbankan demokrasi.

“Kriminalisasi aktivis tidak hanya terjadi pada pejuang demokrasi, tetapi juga pada para pejuang agraria. Untuk mengubah kultur kepolisian, harus ada contoh nyata: seorang Kapolri yang dipenjara karena kejahatannya. Demokrasi harus direbut dengan menghukum para pelaku, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun,” tegas Dendy.

GMNI Jakarta Selatan menegaskan bahwa keberhasilan aparat saat ini hanya sebatas menangkap aktivis dan melindungi kepentingan kapital. Oleh karena itu, dalam kerangka gerakan rakyat, reformasi kepolisian harus dimaknai sebagai perjuangan strategis untuk menegakkan kembali supremasi sipil, membatasi dominasi aparat, dan merebut demokrasi dari cengkeraman rezim represif.

Ikuti Seribuparitnews.com di GoogleNews

Berita Lainnya

Index