Oleh: Jamri
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jambi
Banjir di Sumatera selalu diperlakukan sebagai kejutan, padahal ia datang dengan tanda-tanda yang jelas. Hujan turun, sungai meluap, dan air membawa serta lumpur, kayu, serta sisa-sisa hutan yang telah lama kehilangan fungsi perlindungannya. Yang berulang bukan hanya bencananya, melainkan cara kita meresponsnya. Alam kembali disalahkan, sementara keputusan manusia nyaris tak pernah masuk dalam ruang refleksi.
Sumatra telah lama hidup berdampingan dengan hujan. Sungai-sungainya terbentuk justru untuk menampung dan mengalirkan air. Namun banjir bandang yang kini berulang bukan lagi bagian dari siklus alamiah. Ia adalah gejala dari keseimbangan yang terganggu. Ketika kawasan hulu dibuka, daerah aliran sungai rusak, dan ruang resapan menyempit, hujan tidak lagi diserap, melainkan diluapkan.
Di titik ini, banjir bandang tidak bisa dibaca semata sebagai peristiwa alam. Ia adalah hasil dari pilihan kebijakan. Kerusakan lingkungan yang terjadi secara perlahan akhirnya menemukan momentumnya ketika hujan datang. Bencana pun tampak tiba-tiba, padahal ia telah lama dipersiapkan oleh keputusan-keputusan yang mengabaikan batas ekologis.
Hukum lingkungan seharusnya menjadi instrumen untuk mencegah kondisi semacam ini. Ia dirancang bukan untuk bekerja setelah kerusakan terjadi, melainkan untuk memastikan pembangunan tidak melampaui daya dukung alam. Namun dalam praktik, hukum lingkungan lebih sering diperlakukan sebagai administrasi pembangunan. Prosedur dijalankan, dokumen disusun, izin diterbitkan. Negara merasa telah mengendalikan risiko hanya karena tahapan formal telah dilalui.
Di sinilah ilusi kendali itu bekerja. Lingkungan dipandang sebagai objek yang dapat diatur sepenuhnya melalui regulasi administratif. Padahal, alam memiliki batas yang tidak selalu dapat dinegosiasikan. Ketika batas itu dilampaui, hukum seharusnya menghentikan, bukan menyesuaikan diri. Sayangnya, yang kerap terjadi justru sebaliknya: hukum mengikuti arah pembangunan, bukan mengoreksinya.
Respons negara terhadap banjir bandang pun cenderung reaktif. Bantuan darurat, rehabilitasi, menjadi jawaban yang terus diulang. Langkah-langkah ini penting, tetapi tidak menyentuh akar persoalan. Bencana ditangani, penyebabnya dibiarkan. Selama pendekatan ini dipertahankan, banjir bandang akan terus berulang, hanya dengan lokasi dan korban yang berbeda.
Kebijakan tata ruang memperlihatkan persoalan yang sama. Rencana tata ruang yang semestinya menjadi pedoman perlindungan wilayah ekologis sering kali berubah menjadi dokumen kompromi. Kawasan lindung perlahan kehilangan makna perlindungannya. Ruang resapan air menyempit atas nama kepentingan ekonomi. Risiko ekologis tidak dihilangkan, hanya ditunda dan diwariskan.
Dalam situasi seperti ini, banjir bandang bukan lagi soal ketidakpastian alam, melainkan kepastian kebijakan yang salah arah. Pembangunan terus berjalan seolah-olah lingkungan selalu mampu menyesuaikan diri. Ketika alam gagal menanggung beban itu, masyarakatlah yang membayar harganya.
Membaca ulang kebijakan hukum lingkungan berarti mengubah orientasi dari reaksi ke pencegahan. Pencegahan bukan sekadar soal teknis, melainkan keberanian politik. Negara harus berani menetapkan batas yang tidak boleh dilampaui, terutama di kawasan hulu dan daerah aliran sungai. Moratorium izin di wilayah rawan bencana seharusnya dipahami sebagai bentuk tanggung jawab, bukan hambatan pembangunan.
Lebih jauh, hukum lingkungan perlu dikembalikan pada fungsi etiknya. Ia adalah pernyataan nilai tentang apa yang ingin dilindungi. Ketika izin yang merusak lingkungan tetap dipertahankan, negara sedang mengirim pesan bahwa keselamatan publik dapat dinegosiasikan. Pesan inilah yang secara perlahan menjadikan bencana sebagai sesuatu yang dianggap biasa.
Penegakan hukum lingkungan juga perlu dimaknai ulang. Selama ini, sanksi administratif sering dianggap cukup. Padahal, kerusakan ekologis bersifat kumulatif dan berdampak lintas generasi. Gugatan perdata lingkungan dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diposisikan sebagai upaya pencegahan, bukan sekadar hukuman setelah kerusakan terjadi.
Banjir bandang di Sumatra pada akhirnya memaksa kita bercermin. Ia menguji apakah hukum benar-benar hadir untuk melindungi kehidupan, atau sekadar mengatur pertumbuhan. Selama hukum lingkungan terus diperlakukan sebagai formalitas, bencana akan tetap menjadi cerita yang kita ulang setiap tahun.
Mungkin sudah waktunya berhenti terkejut. Yang diperlukan bukan sekadar kebijakan baru, melainkan perubahan cara pandang: dari ilusi mengendalikan alam menuju kesadaran untuk menghormati batasnya. Tanpa perubahan itu, banjir bandang di Sumatra akan terus datang bukan sebagai murka alam, melainkan sebagai pengingat atas kebijakan yang gagal belajar dari pengalaman.