Otonomi Penuh dan Keadilan: Wajah Baru untuk NKRI yang Lebih Makmur

Selasa, 09 September 2025 | 07:58:17 WIB

Penulis : DR. H. Agus Maulana, SE., MM


                                         Abstrak
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau, yang terhimpun dalam lima pulau besar: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku-Papua. Namun, tata kelola pemerintahan dan alokasi sumber daya masih cenderung Jawa-sentris, menyebabkan ketimpangan pembangunan, ekonomi, dan kesejahteraan. Artikel ini mengkaji konsep otonomi penuh berbasis pulau besar sebagai bentuk penguatan demokrasi, otonomi, dan kedaulatan NKRI. Dengan mendorong tata kelola APBD berbasis pulau, setiap kawasan dapat mengelola sumber dayanya secara mandiri, adil, dan responsif terhadap kebutuhan lokal. Studi ini menggunakan membuka wawasan kebersamaan dengan analisis kebijakan, studi komparatif tata kelola desentralisasi global. Hasilnya menunjukkan bahwa otonomi kepulauan bukan ancaman terhadap kesatuan, melainkan strategi transformasi struktural untuk mempercepat pembangunan, memperkuat demokrasi lokal, dan mewujudkan keadilan sosial. Dengan reformasi konstitusional dan kelembagaan, Indonesia dapat menjadi negara kepulauan yang berdaulat secara politik, otonom secara administratif, dan adil secara ekonomi.
Kata Kunci: Otonomi Kepulauan, APBD, Bebas Pajak, Tata Kelola Daerah, Kesatuan NKRI, Pembangunan Berkeadilan.

1. Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri di atas pilar demokrasi, otonomi daerah, dan kedaulatan. Prinsip otonomi daerah yang termaktub dalam UUD 1945 bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, implementasi otonomi saat ini masih terpusat, dengan kendali besar di Jakarta, yang sering kali menghambat percepatan pembangunan di daerah. Artikel ini dipandang bukan sebuah gagasan radikal jika demi kemakmuran rakyat yakni pemberian otonomi penuh kepada lima pulau besar di Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku-Papua) dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara mandiri, didukung oleh kekayaan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) masing-masing, serta penghapusan pajak.

Tinjauan Teoretis dan Permasalahan
Konsep desentralisasi fiskal adalah fondasi dari gagasan ini. Dalam teori ekonomi regional, desentralisasi fiskal memungkinkan pemerintah daerah untuk mengambil keputusan fiskal yang lebih sesuai dengan kebutuhan lokal, sehingga alokasi sumber daya menjadi lebih efisien. Namun, di Indonesia, transfer dana dari pemerintah pusat (dana perimbangan) sering kali tidak mencukupi atau tidak sesuai dengan prioritas daerah, menciptakan ketidakseimbangan pembangunan.
Selain itu, sistem perpajakan yang terpusat menyebabkan kekayaan yang dihasilkan dari suatu daerah diserap oleh pemerintah pusat dan kemudian didistribusikan kembali, sering kali dalam jumlah yang tidak proporsional. Hal ini memicu rasa ketidakadilan di daerah-daerah kaya SDA, sementara daerah-daerah lain tetap bergantung pada dana transfer.

Model Otonomi Penuh: Tata Kelola APBD Berbasis Pulau adalah pembentukan lima otoritas ekonomi otonom yang berbasis pada lima pulau besar: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua.
 1.2. Tata Kelola Mandiri: Setiap otoritas pulau akan memiliki kewenangan penuh untuk mengelola APBD-nya sendiri, mulai dari perencanaan, penganggaran, hingga eksekusi. Pemerintah pusat akan berfungsi sebagai regulator dan koordinator untuk isu-isu nasional seperti pertahanan, hubungan luar negeri, dan kebijakan moneter.
  1.3. Penghapusan Pajak dan Penggantian dengan Royalti SDA: Dalam model ini, pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai (PPN) akan dihapus. Pendapatan utama setiap pulau akan berasal dari royalti dan pengelolaan langsung sumber daya alam mereka. Contohnya, Kalimantan akan mengandalkan royalti batu bara, Sumatera dari kelapa sawit dan minyak bumi, Maluku-Papua dari mineral, dan Jawa-Sulawesi dari sektor manufaktur, jasa, serta pertanian. Pendapatan ini akan sepenuhnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di pulau tersebut.
  1.4. Optimalisasi Sumber Daya Manusia: Dengan otonomi penuh, setiap pulau dapat merancang program pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan industri lokal mereka. Pulau Jawa, misalnya, dapat fokus pada pengembangan SDM untuk sektor teknologi dan manufaktur, sementara Maluku-Papua dapat mengembangkan keahlian di bidang pertambangan dan maritim. Hal ini akan menciptakan tenaga kerja yang lebih terampil dan relevan, meningkatkan daya saing global.
  1.5. Potensi Dampak dan Keberlanjutan
Penerapan model ini memiliki potensi besar untuk mempercepat pembangunan dan mewujudkan kesejahteraan yang merata. Setiap pulau akan memiliki insentif kuat untuk mengelola sumber daya mereka secara berkelanjutan demi masa depan, karena hasil dari pengelolaan tersebut akan langsung dinikmati oleh masyarakat mereka sendiri.

Namun, keberlanjutan model ini sangat bergantung pada transparansi dan akuntabilitas. Setiap otoritas pulau harus memiliki mekanisme pengawasan yang kuat untuk mencegah korupsi dan memastikan bahwa kekayaan SDA benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat. Transisi dari sistem terpusat ke otonomi penuh juga memerlukan roadmap yang jelas, bertahap, dan didukung oleh konsensus politik yang kuat dari seluruh elemen bangsa.

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keragaman geografis, sosial, budaya, dan ekonomi yang luar biasa. Namun, sistem pemerintahan yang masih sentralistik dan dominasi Jawa dalam alokasi anggaran, kebijakan, dan sumber daya manusia telah menciptakan ketimpangan struktural antarwilayah. Data BPS (2023) menunjukkan bahwa kontribusi Jawa terhadap PDB nasional mencapai 58%, sementara Papua hanya 2,1%, meskipun kaya sumber daya alam.
Pasca-Reformasi 1998, UU No. 22/1999 dan UU No. 23/2014 tentang Otonomi Daerah memberi harapan besar bagi desentralisasi. Namun, otonomi saat ini masih bersifat administratif, bukan strategis. Kabupaten/kota dan provinsi masih terbatas dalam merancang kebijakan besar, mengelola sumber daya strategis, dan menentukan arah pembangunan jangka panjang.
2. Konsep Otonomi Penuh Berbasis Pulau Besar
  2.1. Definisi Otonomi Penuh
Otonomi penuh dalam konteks ini bukan berarti pemisahan wilayah, tetapi pemberian kewenangan maksimal kepada entitas regional untuk mengelola urusan pemerintahan, sumber daya, dan anggaran secara mandiri, dalam koridor NKRI, Pancasila, dan UUD 1945.
  2.2. Lima Entitas Kepulauan Strategis
Sumatera dengan 10 Provinsi memiliki 58 juta penduduk dengan SDA Minyak, gas, kelapa sawit, karet. Kalimantan dengan 5 Provinsi memiliki 18 juta penduduk dengan SDA Batubara, emas, hutan, pertanian dapat menampung program transmigrasi dari daerah yang padat dengan pemanfaatan lahan tidur dan lahan konsorsium membangun ketahanan pangan. Jawa dengan 6 Provinsi memiliki 150 juta penduduk dengan SDA dan SDM pada bidang Industri, jasa, pertanian, teknologi agar dapat secara berangsur dipindahkan ke Sumatera, Kalimantan dan Papua. Sulawesi dengan 6 Provinsi memiliki 22 juta penduduk dengan SDA Nikel, kopra, perikanan, pariwisata.
Maluku-Papua dengan 4 Provinsi (Maluku, Malut, Papua, Papua Selatan, dll) dengan 
12 juta penduduk memiliki SDA Emas, tembaga, biodiversitas, maritim.
  2.3. Prinsip Otonomi Kepulauan
Demokrasi Subnasional: Setiap pulau membentuk Dewan Kepulauan yang dipilih secara demokratis dari wakil provinsi. Kedaulatan Fiskal: Pengelolaan APBD secara kolektif melalui APBD Kepulauan. Koordinasi Strategis: Perencanaan pembangunan lintas provinsi (jalan, energi, digital). Akuntabilitas Publik: Transparansi pengelolaan dana melalui sistem digital terbuka.
3. Tata Kelola APBD Kepulauan: Model dan Mekanisme
  3.1. Struktur Kelembagaan
Dewan Kepulauan (9–15 anggota) berkoordinasi dengan Sekretariat Teknis (Bappeda Kepulauan) menyususn APBD Kepulauan (Pendapatan & Belanja Bersama) dalam Program Prioritas Regional (Infrastruktur, Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi)
  3.2. Sumber Pendapatan APBD Kepulauan
Bagian dari dana perimbangan (DAU, DAK) yang dialokasikan ke level kepulauan (50-60%). Pendapatan asli daerah (PAD) bersama (retribusi pelabuhan, bandara regional, pengelolaan sumber daya alam). Kerja sama investasi lintas provinsi. Hibah internasional untuk proyek regional.
  3.3. Contoh Alokasi Strategis
Kalimantan dengan Jaringan listrik tenaga biomassa kelapa sawit berpotensi senilai Rp12 triliun, Sulawesi dengan Koridor logistik nikel (Morrison–Baubau–Bitung) berpotensi senilai Rp15 triliun, Maluku-Papua sebagai Pusat riset biodiversitas Wallacea dengan potensi senilai Rp8 triliun, Sumatera dengan Jalan tol Sumatera Timur (Dumai–Medan–Palembang) berpotensi senilai Rp25 triliun, Jawa dilakukan Revitalisasi sungai Citarum, Ciliwung, Brantas berpotensi senilai Rp20 triliun.
4. Manfaat Otonomi Kepulauan
  4.1. Penguatan Demokrasi
Rakyat memiliki suara lebih besar dalam menentukan arah pembangunan regional.
Pemilu anggota Dewan Kepulauan meningkatkan partisipasi politik lintas provinsi.
  4.2. Efisiensi dan Efektivitas Pembangunan
Proyek strategis (jalan, energi, digital) direncanakan secara terpadu, mengurangi tumpang tindih. Pengadaan barang/jasa bisa dilakukan secara kolektif kearah efisiensi anggaran hingga 20–30%.
  4.3. Pemerataan Kesejahteraan
Dana tidak lagi terkonsentrasi di Jawa, tetapi dikalibrasi berdasarkan kebutuhan dan potensi tiap pulau. Wilayah tertinggal (Papua, Maluku) mendapat akses lebih besar terhadap infrastruktur dan layanan dasar.
  4.4. Penguatan Kedaulatan Nasional
Otonomi yang kuat justru memperkuat kesatuan karena daerah merasa dihargai dan dilibatkan. Mengurangi potensi konflik separatisme dengan memberi ruang otonomi nyata.
5. Tantangan dan Mitigasi. 
Efisiensi Anggaran dengan Penghapusan Anggota Dewan Tingkat Provinsi, hanya ada anggota DPRD Tingkat Kabupaten/Kota dan Satu Anggota DPR RI dari satu Provinsi yang berkedudukan di Pusat yang artinya cukup 38 orang anggota DPR RI saja di Indonesia. Sentralisme Jakarta pada Amendemen UUD 1945 atau UU Kerangka Otonomi Kepulauan untuk mencegah Konflik Antarprovinsi yang dapat dimediasi oleh Dewan Kepulauan ditambah pengawasan KAS Negara & Ombudsman agar terhindar Korupsi & Mismanagement. Dengan melakukan Audit eksternal, sistem e-budgeting transparan, partisipasi masyarakat sipil akan mencegah Ketimpangan Kapasitas SDM. Perlunya Program pelatihan bersama, transfer pengetahuan antar daerah agar terhindar Ancaman Disintegrasi dengan menegaskan bahwa otonomi berada dalam bingkai NKRI, tidak ada hak untuk Merdeka.
6. Studi Komparatif: Otonomi Regional di Negara Lain yaitu Spanyol dengan Komunitas otonom (17 wilayah) dengan Pembagian kekuasaan fiskal dan legislatif tingkat regional.  Di Jerman dengan Kebijakan Bundesländer (16 negara bagian) dengan Otonomi kuat dalam pendidikan, kepolisian, dan pajak local. Di Negara Filipina dengan Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM) memberikan Bukti bahwa otonomi khusus bisa redam konflik. Negara Kanada dengan Provinsi dengan hak otonomi besar, dengan Pengelolaan sumber daya alam oleh provinsi (e.g., Alberta-minyak). Indonesia bisa mengadopsi prinsip fiskal Jerman, koordinasi Spanyol, dan pengelolaan sumber daya Kanada. 
7. Roadmap Implementasi (2025–2045) yakni pada 2025–2027: Kajian UU Otonomi Kepulauan, uji coba di Kalimantan & Sulawesi, pada 2028–2030 Pembentukan Dewan Kepulauan, integrasi APBD regional, pada 2031–2035 Evaluasi nasional, perluasan ke semua pulau, digitalisasi tata kelola, pada 2036–2045 Otonomi kepulauan sebagai model tata kelola global negara kepulauan
8. Kesimpulan

Gagasan otonomi penuh berbasis pulau ini menawarkan solusi mengatasi ketidakmerataan pembangunan dan ketidakadilan fiskal di Indonesia. Dengan memberikan kontrol penuh atas APBD, mengandalkan kekayaan SDA dan SDM, serta menghapus pajak, setiap pulau akan memiliki kesempatan untuk mengelola takdirnya sendiri yang adil dan merata. Model ini, jika diterapkan dengan hati-hati dan transparan, dapat menjadi fondasi bagi NKRI yang lebih kuat, demokratis, dan makmur di masa depan. Otonomi penuh berbasis pulau besar bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi transformasi paradigma tata kelola negara kepulauan. Dengan memberi kewenangan strategis kepada lima pulau besar, Indonesia dapat memperkuat demokrasi lokal, mewujudkan keadilan spasial dan ekonomi, percepat pembangunan inklusif, dan menegaskan kedaulatan Nusantara dalam keragaman.

Jika selama ini Indonesia dilihat sebagai "Negara di Atas Pulau", kini saatnya menjadi "Negara dari dan untuk Setiap Pulau" yang demokratis, otonom, dan berdaulat.
"Kesatuan tidak lahir dari keseragaman, tetapi dari pengakuan terhadap perbedaan. Otonomi kepulauan adalah jalan Indonesia menuju NKRI yang benar-benar berdaulat, adil, dan bermartabat.

Terkini