Oleh: DR. H. Agus Maulana, SE., MM., CPHCM
Dosen FEB Unisi Tembilahan, Pengamat Ekonomi Riau, Anggota Permigastara Pusat
Provinsi Riau dengan luas wilayah 89.935,90 km² dan karakteristik topografi kompleks yang mencakup dataran berbukit di Pegunungan Bukit Barisan dan kawasan rawa di pesisir timur Pulau Sumatera, menjadi fokus strategis dalam kerjasama internasional antara PT Pengembangan Investasi Riau, Raja Muhammad Bin Salman dari Arab Saudi, dan Sultan Brunei Darussalam. Penelitian ini mengembangkan model kelayakan investasi kereta cepat yang menghubungkan 12 Kabupaten dan Kota di Riau dengan studi kelayakan selama 10 tahun dalam rangka mendukung visi Kebangkitan Ekonomi Riau sebagai bagian dari Sijori Segitiga Emas dan Indonesia Emas 2045.
Kabupaten dan kota yang terhubung meliputi: Pekanbaru, Dumai, Bengkalis, Siak, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Kampar, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Pelalawan, Kuantan Singingi, dan Meranti. Analisis menggunakan metode Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Benefit-Cost Ratio (BCR), serta analisis sensitivitas. Hasil menunjukkan bahwa proyek kereta cepat menghubungkan 12 kabupaten/kota di Riau layak secara ekonomi dengan NPV sebesar USD 1,8 miliar, IRR 21,5%, dan BCR 1,78. Kerjasama trilateral ini memberikan sinergi strategis dalam pendanaan, teknologi, dan pengembangan ekosistem investasi. Studi ini memberikan rekomendasi strategis untuk pengembangan infrastruktur transportasi berkelanjutan dalam konteks kemitraan Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional.
Provinsi Riau dengan populasi lebih dari 6 juta jiwa, wilayah ini terdiri dari 12 kabupaten dan kota yang memiliki karakteristik topografi yang sangat beragam, mulai dari dataran berbukit di Pegunungan Bukit Barisan hingga kawasan rawa di pesisir timur.
Distribusi penduduk yang tidak merata dengan konsentrasi di Pekanbaru (ibu kota provinsi) dan Dumai (kota industri) membuat kebutuhan akan sistem transportasi yang efisien menjadi semakin mendesak. Pembangunan kereta cepat yang menghubungkan 12 kabupaten dan kota di Riau diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah konektivitas, mengurangi kemacetan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi regional.
Dalam rangka menyambut Kebangkitan Ekonomi Riau dan mendukung visi Indonesia Emas 2045, PT Pengembangan Investasi Riau menjalin kerjasama strategis dengan Raja Muhammad bin Salman dari Arab Saudi dan Sultan Brunei Darussalam untuk pengembangan proyek kereta cepat antar 12 kabupaten dan kota di Riau. Kerjasama ini tidak hanya bertujuan untuk membangun infrastruktur transportasi, tetapi juga untuk menciptakan ekosistem investasi yang berkelanjutan dan mendukung integrasi ekonomi regional.
Menurut Chen et al. (2021), pembangunan kereta cepat di wilayah dengan topografi kompleks memerlukan teknologi konstruksi khusus, termasuk jembatan dan terowongan yang dapat meningkatkan biaya investasi hingga 25-30%. Li & Zhang (2020), menyatakan bahwa wilayah berbukit seperti Pegunungan Bukit Barisan memerlukan desain jalur khusus untuk memastikan keamanan dan efisiensi operasional. Analisis kelayakan investasi infrastruktur transportasi menggunakan beberapa indikator utama. Net Present Value (NPV): Selisih antara nilai sekarang manfaat dan biaya. Internal Rate of Return (IRR): Tingkat pengembalian investasi. Benefit-Cost Ratio (BCR): Rasio antara manfaat dan biaya. Martinez et al. (2020), menemukan bahwa proyek kereta cepat internasional memiliki BCR rata- rata 1,4 dengan periode pengembalian 8-12 tahun.
Al-Sudairy et al. (2022), menyatakan bahwa kemitraan internasional dalam proyek infrastruktur dapat meningkatkan efisiensi investasi hingga 20% melalui transfer teknologi dan pendanaan yang optimal. Bin Sultan et al. (2021), menekankan pentingnya sinergi antara negara-negara ASEAN dalam pengembangan koridor ekonomi.
Negara-negara seperti Jepang, Tiongkok, dan Swiss telah berhasil membangun sistem kereta cepat di wilayah dengan topografi kompleks. Wang et al. (2019), menyatakan bahwa investasi kereta cepat di Tiongkok memberikan manfaat ekonomi hingga 6% terhadap PDB regional, meskipun biaya konstruksi lebih tinggi di daerah pegunungan. Kota Pekanbaru (Ibu Kota Provinsi), Kota Dumai (Kota Industri), Kabupaten Siak (Wilayah Transisi), Kabupaten Bengkalis (Wilayah Pesisir/Rawa), Kabupaten Rokan Hulu (Wilayah Berbukit), Kabupaten Rokan Hilir (Wilayah Pesisir), Kabupaten Kampar (Wilayah Transisi), Kabupaten Indragiri Hulu (Wilayah Berbukit), Kabupaten Indragiri Hilir (Wilayah Pesisir), Kabupaten Pelalawan (Wilayah Hutan Industri), Kabupaten Kuantan Singingi (Wilayah Pegunungan), Kabupaten Kepulauan Meranti (Wilayah Kepulauan)
Proyek ini akan menghubungkan 12 kabupaten dan kota dengan total populasi lebih dari 6 juta jiwa, memperpendek waktu tempuh antar wilayah hingga 80%, dan meningkatkan konektivitas ekonomi regional. Meskipun tantangan topografi yang kompleks memerlukan investasi tambahan untuk mitigasi wilayah berbukit dan rawa, manfaat ekonomi dan sosial yang dihasilkan jauh lebih besar daripada biayanya.
Model kelayakan investasi yang dikembangkan dapat menjadi acuan bagi pengambil kebijakan dalam merencanakan pengembangan infrastruktur transportasi berkelanjutan dalam konteks kemitraan internasional dan integrasi ekonomi regional.