Runtuhnya Simbol Sipil: Ketika Lembaga Parlemen Tak Lagi Dipandang sebagai Wakil Rakyat

Runtuhnya Simbol Sipil: Ketika Lembaga Parlemen Tak Lagi Dipandang sebagai Wakil Rakyat

Penulis: Jamri
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri)

Gelombang demonstrasi beberapa hari terakhir meninggalkan luka mendalam dalam perjalanan demokrasi kita. Bukan hanya karena kerusuhan yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi, tetapi juga karena simbol sipil gedung DPR maupun DPRD menjadi sasaran masa yg seolah ingin diruntuhkan oleh api anarkisme. Gedung yang seharusnya menjadi ruang rakyat justru dibakar, dijarah, dan dihancurkan oleh massa yang kecewa.

Tragedi terparah terjadi di Makassar. Gedung DPRD Makasar terbakar hebat saat rapat paripurna masih berlangsung. Api membesar, ledakan terdengar, dan tiga pegawai pemerintahan tewas mengenaskan karena terjebak di dalam gedung. Kejadian serupa merambat ke daerah lain seperti NTB dan lainnya Gedung DPRD yang mestinya dihormati sebagai rumah aspirasi berubah menjadi puing-puing kemarahan rakyat.

Padahal, gedung DPR dan DPRD ini bukan sekadar bangunan beton. Ia adalah simbol sipil yang diperjuangkan kewenangannya pada Reformasi 1998. Saat itu, rakyat menuntut agar parlemen menjadi ruang yang benar-benar merepresentasikan suara masyarakat, bukan sekadar kepanjangan tangan penguasa. Simbol sipil lahir dari semangat itu, bahwa rakyat punya rumah politik, punya saluran aspirasi, dan punya jaminan bahwa suara mereka akan didengar.

Sayangnya, simbol itu kini runtuh. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara makna. Rakyat tidak lagi percaya pada wakilnya. Ditengah ekonomi yg tidak baik baik saja muncul berbagai macam kenaikan pungutan pajak, baik di pusat maupun di daerah namun suara wakil rakyat nyaris tak terdengar  sebagai yang mewakili rakyat baik yg di DPR maupun yang di DPRD malah yg di dengar kenaikan tunjangan anggota DPR. DPR maupun DPRD dianggap jauh dari aspirasi publik, sibuk dengan agenda kekuasaan, dan kerap melupakan amanat konstituen. Ketidakpercayaan itulah yang meledak dalam bentuk anarkisme, meski cara itu tentu tidak bisa dibenarkan.

Di balik runtuhnya simbol sipil, ada persoalan mendasar yaitu hilangnya oposisi. Demokrasi pasca Reformasi 1998 dirancang agar ada keseimbangan antara pemerintah dan oposisi. Oposisi dibutuhkan sebagai penyeimbang, pengawas, sekaligus pengingat bahwa kekuasaan harus selalu diawasi. Namun, kenyataan politik kita hari ini justru sebaliknya. Banyak partai politik memilih bergabung dengan pemerintahan, sehingga parlemen kehilangan dinamika. Kritik seakan melemah, suara berbeda arah makin jarang terdengar, dan rakyat pun merasa tak punya wakil yang berani menyuarakan kegelisahan mereka.

Ketiadaan oposisi yang kuat inilah yang membuat demokrasi kita timpang. Rakyat kehilangan ruang formal untuk menyalurkan protes dan ketidakpuasan. Suara protes lebih banyak di dengar dari para tokoh dan akademisi serta gerakan mahasiswa Akibatnya, kemarahan mencari jalan lain, dan yang lahir adalah demonstrasi destruktif yang mengorbankan simbol sipil.

Pemulihan kondisi ini tidak cukup dengan membangun kembali gedung DPRD yang terbakar. Lebih penting adalah membangun kembali legitimasi lembaga perwakilan. DPR dan DPRD harus kembali pada jati dirinya sebagai rumah aspirasi rakyat, bukan sekadar perpanjangan tangan eksekutif. Dan itu hanya mungkin jika fungsi oposisi dihidupkan kembali. Tanpa oposisi yang sehat dan berani, demokrasi akan terus pincang, dan simbol sipil akan semakin kehilangan makna.

Jika api oposisi tidak segera dinyalakan kembali, maka api anarkisme di jalanan bisa terus membesar. Dan ketika itu terjadi, yang hancur bukan hanya gedung DPRD, melainkan warisan Reformasi 1998 yaitu sebuah demokrasi yang seharusnya berpihak pada rakyat.

Ikuti Seribuparitnews.com di GoogleNews

Berita Lainnya

Index