Gubernur NTT Menyerbu Kampung Adat: Transisi Energi atau Kolonialisme Baru?

Gubernur NTT Menyerbu Kampung Adat: Transisi Energi atau Kolonialisme Baru?
Alexander Pekuali (Ketua Umum (HIPMA Flobamora)

Oleh: Alexander Pekuali (Ketua Umum (HIPMA Flobamora)


Kunjungan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Emanuel Melkiades Laka Lena, ke Poco Leok, Kabupaten Manggarai, pada 16 Juli 2025, menyisakan pertanyaan fundamental tentang arah pembangunan dan relasi kekuasaan negara terhadap masyarakat adat di Indonesia. Kunjungan itu berlangsung dalam kawalan aparat bersenjata lengkap dan terjadi di tengah penolakan panjang warga terhadap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Poco Leok, yang dikerjakan PT PLN sebagai perluasan dari PLTP Ulumbu.

Narasi resmi menyebut proyek ini sebagai bagian dari transisi energi menuju sumber daya bersih dan berkelanjutan. Namun, bagi masyarakat adat Poco Leok, proyek ini justru menjadi ancaman nyata bagi ruang hidup ekologis dan keberlanjutan budaya mereka. Selama dua tahun terakhir, warga mengalami intimidasi, pengukuran lahan sepihak, dan kriminalisasi. Data koalisi masyarakat sipil menunjukkan setidaknya 22 warga, termasuk jurnalis, telah diproses hukum akibat konflik ini.

Alih-alih memfasilitasi dialog yang terbuka, kehadiran gubernur dengan iring-iringan aparat bersenjata memperkuat kesan bahwa negara memilih pendekatan koersif ketimbang deliberatif. Simbolisme ini menjadi ironis ketika pertemuan yang digelar hanya melibatkan lima perwakilan warga, bukan forum konsultatif yang inklusif.

Dalam teori kekuasaan Michel Foucault, negara modern tidak hanya bekerja melalui pemaksaan fisik, tetapi juga melalui kontrol atas ruang, wacana, dan rasa takut. Pendekatan semimiliteristik dalam kunjungan gubernur memperlihatkan bahwa kekuasaan di NTT belum bertransformasi menjadi kekuasaan demokratis yang partisipatif. Ia masih bekerja dengan logika dominasi dan pengendalian.

Proyek PLTP ini dilakukan tanpa partisipasi penuh warga yang terdampak, yang dalam standar hak asasi manusia dikenal sebagai Free, Prior and Informed Consent. Bahkan Satgas Geotermal bentukan Pemprov NTT sendiri mengakui adanya hambatan komunikasi dan tertutupnya ruang dialog dalam proyek ini. Maka yang bermasalah bukan semata teknologinya, tetapi cara kekuasaan mengelola proyek tertutup, elitis, dan cenderung teknokratis.

Gereja Katolik melalui ensiklik Laudato Si’ (2015) menawarkan kerangka etika ekologi integral yang relevan untuk membaca situasi Poco Leok. Dalam dokumen tersebut, Paus Fransiskus menyatakan bahwa krisis lingkungan tidak dapat dipisahkan dari krisis sosial (paragraf 139). Ketika eksploitasi sumber daya dilakukan dengan mengabaikan hak masyarakat lokal, maka proyek tersebut tidak hanya merusak alam, tetapi juga keadilan. 

Di Flores, kritik tajam datang dari Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, yang secara terang menolak proyek geotermal ini dalam pertemuannya dengan Gubernur NTT pada April 2025. Uskup menilai proyek ini tidak memihak rakyat dan berisiko merusak tatanan sosial ekologis lokal. Sikap Gereja tersebut sejalan dengan prinsip Laudato Si’ bahwa pembangunan sejati harus “menjunjung martabat manusia dan bersifat menyeluruh” (paragraf 183).
Poco Leok bukan sekadar titik koordinat proyek, tetapi wilayah adat yang memiliki nilai ekologis dan spiritual. Ketika tanah dilihat hanya sebagai aset energi, dan warga sebagai hambatan, maka yang terjadi bukan pembangunan, melainkan perampasan.

Peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan memang menjadi keharusan global dalam menghadapi krisis iklim. Namun, tanpa prinsip keadilan, transisi ini bisa berubah menjadi kolonialisme baru di mana masyarakat miskin di daerah tertinggal menanggung beban demi kebutuhan industri dan pasar yang jauh dari lokasi konflik.
Pertanyaan yang lebih mendasar adalah transisi energi untuk siapa? Jika pembangunan hijau justru menambah daftar panjang penggusuran, kriminalisasi, dan perampasan hak atas tanah, maka itu bukan solusi, melainkan reproduksi ketidakadilan dalam warna hijau.

Poco Leok adalah contoh paling gamblang tentang bagaimana logika pembangunan nasional bisa berbenturan langsung dengan hak masyarakat lokal. Dalam skema ini, negara dan korporasi menjadi aktor dominan, sementara masyarakat adat kehilangan suara bahkan kehilangan tanah leluhurnya.

Kunjungan Gubernur NTT, yang dilandasi prosedur keamanan berlebihan, mestinya tidak dibaca sebagai rutinitas birokratis, melainkan sebagai cermin dari cara negara memandang rakyatnya sendiri. Kekuasaan yang baik bukan ditunjukkan lewat senjata, tetapi melalui keberanian untuk mendengar dan mengoreksi.

Dalam dunia yang tengah menghadapi krisis ekologis dan sosial yang kompleks, arah pembangunan harus ditimbang tidak hanya dengan indikator ekonomi, tetapi dengan etika ekologis dan partisipasi sejati. Tanpa itu, pembangunan hanya akan melahirkan korban dan Poco Leok hanyalah salah satu dari banyak nama yang akan terus muncul jika negara abai pada suara akar rumput.

Seperti diingatkan Paus Fransiskus, “Bumi bukanlah warisan dari leluhur, melainkan pinjaman dari anak cucu kita.” Maka pertanyaannya adalah apakah kita sedang membangun masa depan, atau justru mewariskan reruntuhan konflik kepada generasi mendatang?

Ikuti Seribuparitnews.com di GoogleNews

Berita Lainnya

Index