Oleh: Jamri
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri
Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam membentuk karakter dan moral generasi bangsa. Guru memiliki posisi strategis sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan nasional. Mereka tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral, etika, dan kedisiplinan kepada peserta didik sebagaimana ketentuan Pasal (1) angka 1 Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, profesi guru menghadapi tantangan besar akibat perubahan paradigma hukum dan sosial yang dipengaruhi oleh semangat perlindungan anak.
Era perlindungan anak yang digalakkan melalui berbagai instrumen hukum seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, memang bertujuan mulia: melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan tidak manusiawi. Namun, di sisi lain, penerapan aturan ini sering kali menimbulkan dilema bagi guru dalam menjalankan fungsi pendidikannya, khususnya ketika memberikan sanksi pendisiplinan kepada peserta didik.
Masalah muncul ketika tindakan guru dalam rangka mendisiplinkan siswa dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap anak. Banyak kasus menunjukkan bahwa guru justru menjadi pihak yang dilaporkan atau bahkan diproses hukum karena memberikan hukuman edukatif kepada siswanya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dan ketidakpastian hukum bagi para pendidik. Guru seolah berada dalam posisi yang serba salah: jika mereka tegas, mereka bisa dianggap melanggar hukum; tetapi jika mereka membiarkan perilaku siswa tanpa tindakan tegas, maka nilai kedisiplinan dan karakter peserta didik terancam terabaikan.
Situasi ini menggambarkan adanya kekosongan hukum (legal vacuum) yang nyata dalam sistem hukum positif, khususnya terkait batasan yang jelas antara “tindakan pendisiplinan” dengan “pelanggaran hukum terhadap anak”. Hingga kini, belum ada regulasi yang secara tegas mengatur bentuk, batas, dan standar tindakan pendisiplinan yang diperbolehkan bagi guru di lingkungan pendidikan. Akibatnya, penegakan hukum sering kali didasarkan pada penilaian pelanggaran Undang Undang perlindungan Anak.
Memang, Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan larangan segala bentuk kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun psikis. Namun di sisi lain, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memberikan hak bagi guru untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, namun tekait batasan perihal pendisiplinan yg bersifat mendidik kepada peserta didik terdapat kekosongan hukum atau legal vacuum. Di sinilah terjadi benturan norma yang membutuhkan harmonisasi hukum. Tanpa kejelasan pengaturan, guru akan selalu berada dalam posisi rawan kriminalisasi, padahal tujuannya bukan untuk menyakiti, melainkan untuk mendidik dan membentuk karakter.
Oleh karena itu, negara perlu hadir dengan regulasi yang lebih spesifik dan berkeadilan. Pemerintah bersama lembaga legislatif semestinya segera merumuskan perubahan UU Guru dan Dosen khususnya pasal terkait batasan pendisiplinan seorang profesi guru terhadap peserta didiknya sebagai pelaksana yang dapat menjadi pedoman hukum bagi guru dalam memberikan sanksi edukatif tanpa melanggar prinsip perlindungan anak. Perubahan UU tersebut harus memuat batasan tegas antara tindakan pendisiplinan yang bersifat mendidik dengan kekerasan yang bersifat menghukum atau merendahkan martabat anak.
Selain aspek hukum, dibutuhkan juga sosialisasi dan edukasi bagi masyarakat serta orang tua siswa agar memahami bahwa tindakan pendisiplinan dalam batas yang wajar merupakan bagian dari proses pendidikan. Guru perlu mendapatkan perlindungan, bukan kecurigaan, selama tindakannya berada dalam koridor profesionalitas dan etika pendidikan.
Dengan demikian, perlindungan hukum bagi guru di era perlindungan anak bukan berarti meniadakan hak anak, tetapi menyeimbangkan antara hak anak untuk dilindungi dan hak guru untuk menjalankan tugas pendidikannya secara aman dan bermartabat. Keadilan hukum harus hadir tidak hanya bagi anak sebagai subjek yang dilindungi, tetapi juga bagi guru sebagai subjek hukum yang berperan penting dalam membentuk masa depan bangsa.
Keseimbangan inilah yang menjadi esensi dari sistem hukum yang berkeadilan bukan hanya melindungi yang lemah, tetapi juga menegakkan keadilan bagi mereka yang mengabdi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.