Jakarta - Publik dihebohkan dengan aturan KPU yang menyebutkan ijazah calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) adalah dokumen rahasia sehingga publik tak bisa mengeceknya. Aturan ini mendapatkan kritik dari mana-mana hingga berujung pada pembatalan.
Semula, keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025 tentang Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Informasi Publik yang Dikecualikan ditandatangani Ketua KPU Affifuddin tertanggal 21 Agustus 2025. Informasi publik sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua dikecualikan selama jangka waktu lima tahun, kecuali:
a. pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis, dan/atau;
b. pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik
Dalam keputusan itu, tertuang 16 dokumen yang tidak bisa dibuka ke publik berkaitan dengan syarat menjadi capres-cawapres. Salah satu dokumen yang tidak bisa dibuka tanpa persetujuan yakni perihal dokumen ijazah.
Legislator Mengkritik
Hal ini mendapatkan respons kritikan dari berbagai kalangan. Salah satunya anggota Komisi II DPR Fraksi PDIP, Deddy Yevri Sitorus. Deddy menilai untuk pejabat publik seharusnya semuanya terbuka.
"Saya nggak sependapat karena untuk pejabat publik seharusnya semua terbuka dong. Bisa diakses publik itu kan bentuk dari hak warga negara nggak membeli kucing dalam karung. Harusnya semua pejabat publik terbuka," kata Deddy.
Deddy menilai dengan adanya aturan tersebut melanggar hak publik untuk mendapat informasi. Termasuk soal ijazah pejabat yang menurutnya menjadi dokumen publik.
Hal senada juga diutarakan anggota Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia. Doli menilai ijazah bukan suatu hal yang harus disembunyi-sembunyikan.
"Tentu kita mempertanyakan urgensinya. Kenapa tiba-tiba KPU menerbitkan PKPU. Padahal kan sebenarnya pilpresnya kan sudah selesai yang 2024 dan kemudian pilpres berikut itu 2029," kata Doli di acara Bimtek fraksi Golkar, Pullman Central Park, Grogol.
Doli mengatakan sistem pemilu di Indonesia tengah dikaji oleh masing-masing partai politik di DPR. Ia menyinggung biasanya penerbitan PKPU ada konsultasi dengan DPR RI terlebih dahulu.
"Nah makanya dari segi urgensi perlu dipertanyakan. Kenapa kok tiba-tiba pilpresnya masih 4 tahun lagi ada PKPU tentang Pilpres," ujar Doli.
Pembatalan Aturan
KPU kemudian membatalkan aturan tersebut. Pertimbangan pembatalan aturan itu, disebutkan Afifuddin, dilakukan karena mendapat masukan dari berbagai pihak.
"Selanjutnya untuk melakukan langkah-langkah koordinasi dengan pihak-pihak yang kita anggap penting misalnya komisi Informasi publik daerah berkatnya berkaitan dengan data-data informasi dan seterusnya. Akhirnya kami secara kelembagaan memutuskan untuk membatalkan keputusan KPU nomor 731 tahun 2025," kata Afifuddin di kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (16/9/2025).
Afifuddin mengakui tak ada diskusi dengan pihak Istana maupun DPR mengenai pembatalan Keputusan KPU. "Tidak ada diskusi dari pihak yang tadi disebutkan. Yang ada, ada istilah uji konsekuensi," katanya.
Dia melanjutkan KPU hanya membahas Keputusan 731/2025 ini secara internal. Mereka juga telah mendapat masukan dari berbagai pihak setelah aturan ini menuai kontroversi.
"Di kalangan internal kita bahas dan kita merasa perlu mendapat perspektif dari pihak lain juga untuk kemudian memperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh berkaitan ini," jelasnya.
KPU sempat berkoordinasi dengan Komisi Informasi Pusat RI untuk membahas soal perlindungan data dan lainnya. Namun pada akhirnya aturan tetap menyebut tidak merahasiakan dokumen calon presiden dan calon wakil presiden.
"Akhirnya kami secara kelembagaan memutuskan untuk membatalkan Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025," sambungnya.