17 Tahun SP3 Illegal Logging 14 Koporasi di Riau: Saatnya Green Policing Polda Riau Cabut SP3 14 Korporasi

17 Tahun SP3 Illegal Logging 14 Koporasi di Riau:  Saatnya Green Policing Polda Riau Cabut SP3 14 Korporasi

Pekanbaru, - Tujuh belas tahun setelah penghentian penyidikan (SP3) kasus illegal logging terhadap 14 korporasi kehutanan di Riau, Jikalahari menilai negara berhutang dalam menuntaskan kasus kejahatan lingkungan hidup. SP3 yang diterbitkan oleh Polda Riau pada tahun 2008 tidak hanya menghentikan proses hukum, melainkan juga memperkuat pembiaran terhadap korporasi perusak hutan alam dan simbol kegagalan aparat penegak hukum dalam melindungi hutan dan lingkungan hidup Riau Senin (22/12) 

“Ini bukan perkara lama yang selesai. SP3 illegal logging adalah luka bagi masyarakat Riau karena  sampai hari ini masih berdampak pada krisis ekologis, banjir berulang, polusi kabut asap karhutla dan hilangnya hutan alam Riau,” tegas Okto Yugo Setyo, Koordinator Jikalahari.

Pada periode 2001–2006 tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan berupa illegal logging secara besar-besaran terjadi di Provinsi Riau. Kejahatan ini terungkap ke publik pada tahun 2006 saat Brigjen Sutjiaptadi menjabat sebagai Kapolda Riau. Juni 2007, Polda Riau Polda Riau secara resmi memulai penyidikan kasus illegal logging yang melibatkan 14 korporasi. Korporasi-korporasi tersebut terafiliasi langsung dengan dua kelompok industri pulp dan kertas terbesar di Asia Tenggara, yakni APRIL Group dan Sinar Mas Group/APP.

Korporasi tersebut antara lain PT Mitra Kembang Selaras, PT Riau Andalan Pulp & Paper, PT Arara Abadi, PT Suntara Gajah Pati, PT Wana Rokan Bonai Perkasa, PT Anugerah Bumi Sentosa, PT Madukoro, PT Citra Sumber Sejahtera, PT Bukit Betabuh Sei Indah, PT Binda Duta Laksana, PT Rimba Mandau Lestari, PT Inhil Hutan Pratama, dan PT Nusa Prima Manunggal.

Dalam tahap ini, penegakan hukum berjalan tegas dan progresif. Penyidik memeriksa puluhan saksi, termasuk pelapor dari masyarakat, menyita dan mengamankan 133 unit ekskavator dan alat berat, serta ribuan log kayu hasil pembalakan.

Perkara illegal logging ini bahkan telah menjadi perhatian serius pemerintah pusat. Pada November 2007, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia selaku Koordinator Penanggulangan Pembalakan Ilegal—yang ditunjuk langsung oleh Presiden Republik Indonesia—secara terbuka menyatakan bahwa 14 dari 21 perusahaan pemegang konsesi HTI di Riau diindikasikan melakukan pembalakan ilegal dan meminta Polda Riau segera memproses perusahaan-perusahaan tersebut secara hukum.

Namun, meskipun begitu, arah penegakan hukum berubah drastis pada Desember 2008. Brigjen Hadiatmoko, yang menggantikan Sutjiptadi sebagai Kapolda Riau, menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap 14 korporasi yang sebelumnya telah disidik dan ditetapkan tersangkanya dengan alasan “memiliki izin”. Keputusan ini mengejutkan publik karena menghentikan proses hukum terhadap korporasi yang telah terbukti melakukan pembalakan hutan alam dalam skala luas.

“Penghentian penyidikan terhadap 14 korporasi pelaku illegal logging hingga kini masih menjadi luka bagi masyarakat Riau, apalagi dampak banjir di musim hujan dan karhutla di musim kemarau yang terus berlangsung. Mestinya kejahatan melibatkan korporasi besar, seharusnya hukum bekerja lebih keras, bukan justru berhenti di tengah jalan” tegas Okto.

Satgas PMH menemukan sejumlah kejanggalan serius dalam penerbitan SP3, mulai dari alasan penghentian penyidikan yang menimbulkan ketidakpastian hukum, hingga penggunaan keterangan ahli yang bermasalah sebagai dasar penghentian perkara. Berdasarkan temuan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH), kerugian negara akibat hilangnya nilai kayu pada 14 perusahaan IUPHHK-HT di Riau mencapai Rp 73,36 triliun, sementara kerugian akibat perusakan lingkungan diperkirakan mencapai Rp 1.994,59 triliun.

Pada 2009 satgas menerbitkan rekomendasi kepada Presiden SBY pertama, Kapolri membuka kembali SP3 14 perusahaan HTI, kedua KLH menggugat perdata PT MPL dan PT Madukoro merekomendasikan untuk Kementerian Lingkungan Hidup untuk menggugat PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Madukoro.

Atas rekomendasi Satgas PMH, KLH menggugat PT MPL dan hingga inkrah melalui Putusan PK, pada 17 Desember 2019, majelis hakim Syamsul Maarif, SH, LLM, Phd, Dr Ibrahim SH M LLM, Dr HM Syarifudddin SH MH, memutuskan menolak gugatan PT Merbau Pelalawan Lestari. PT MPL dihukum dan diperintahkan untuk membayar ganti kerugian lingkungan hidup kepada negara melalui KLHK secara langsung dan seketika kepada penggugat sejumlah Rp 16,2 triliun yang terdiri, kerugian akibat perusakan lingkungan hidup di dalam areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) seluas 5.590 ha sejumlah Rp 12,1 triliun dan kerugian akibat perusakan lingkungan hidup di luar areal Izin Usaha Pemanfaatan hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) seluas 1.873 ha sejumlah Rp 4,07 triliun.

“Artinya jelas bahwa PT MPL, 1 dari 14 korporasi pelaku illegal logging benar melakukan illegal logging. Ini cukup untuk menjadi jalan membuka Kembali SP3 atas 14 koporasi HTI tersebut” kata Okto.  

Tepat 17 tahun pasca SP3 14 korporari pelaku illegal logging, Polda Riau memiliki program Green Policing yang berhasil mengarus utamakan isu lingkungan hidup di bawah pimpinan Irjen. Pol. Dr. Herry Heryawan. Dengan euforia menanam pohon dalam program green policing, sangat sejalan untuk selain menanam tetapi juga mengungkap dan membasi segala bentuk perusakan dan penghancuran pohon, khususnya yang dilakukan oleh korporasi.

Sejak peluncuran Green policing, Polda Riau telah menangani 21 kasus kehutanan sepanjang 2025 dan total luas lahan yang terdampak 2.360 hektar. Oleh karena itu, Jikalahari mendesak Polda Riau untuk membuka kembali perkara illegal logging 14 korporasi kehutanan. Langkah ini bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban hukum dan politik untuk menerapkan green policing secara nyata—menempatkan kejahatan lingkungan sebagai kejahatan serius, menghentikan pembiaran terhadap korporasi perusak hutan, dan mengembalikan fungsi hukum sebagai alat perlindungan lingkungan dan keselamatan publik, untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Ikuti Seribuparitnews.com di GoogleNews

Berita Lainnya

Index