Revisi Peraturan DPR RI NO 1 Tahun 2020 yang Memungkinkan Memberhentikan Pimpinan Lembaga Negara Dalam Perspektif Check and Balance

Revisi Peraturan DPR RI NO 1 Tahun 2020 yang Memungkinkan Memberhentikan Pimpinan Lembaga Negara Dalam Perspektif Check and Balance

Penulis : Jamri 
(Dosen Hukum Tata Negara UNISI Tembilahan)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib). Revisi ini memungkinkan DPR RI untuk melakukan evaluasi, termasuk juga memberhentikan pimpinan lembaga yang telah melalui proses uji kelayakan dan kepatuhan (Fit and Proper tes ) di DPR, seperti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) dan lembaga lainnya.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, prinsip check and balance merupakan mekanisme fundamental yang memastikan keseimbangan antara berbagai cabang kekuasaan negara. Sebagai salah satu lembaga legislatif utama, DPR memiliki peran penting dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap lembaga eksekutif maupun lembaga tinggi negara lainnya. Salah satu aspek yang menjadi perdebatan adalah sejauh mana DPR memiliki kewenangan untuk mengevaluasi dan bahkan memberhentikan pimpinan lembaga tinggi negara. Dari perspektif ceck and balance , kewenangan ini perlu dianalisis agar tidak menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan yang dapat mengancam stabilitas demokrasi (Jimly Asshiddiqie. (2020). Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Konstitusi)

DPR memang memiliki hak konstitusional dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan kinerja lembaga tinggi negara. Dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi pengawasan inilah yang menjadi dasar bagi DPR dalam melakukan evaluasi terhadap lembaga-lembaga negara. Selain itu, beberapa undang-undang juga memberikan wewenang kepada DPR untuk menilai kinerja pimpinan lembaga tinggi negara. (Moh. Mahfud MD. (2017). Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: LP3ES.)

Namun, perdebatan muncul ketika DPR diberikan kewenangan untuk tidak hanya mengevaluasi, tetapi juga memberhentikan pimpinan lembaga tinggi negara. Dari perspektif check and balance , kewenangan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, hak DPR untuk mengevaluasi kinerja pimpinan lembaga tinggi negara dapat menjadi instrumen untuk memastikan bahwa pejabat negara menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak melakukan penyalahgunaan wewenang. Namun, di sisi lain, jika mekanisme pemberhentian tersebut tidak diatur dengan jelas dalam konstitusi dan hanya mengandalkan keputusan politik di parlemen, maka hal ini dapat berpotensi menciptakan ketidakstabilan dan intervensi politik yang berlebihan (Nimatul Huda. (2021). Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada).

Dalam prinsip separation of powers, lembaga tinggi negara seperti Mahkamah Konstitusi (MK), BPK, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki independensi yang harus dijaga. Jika DPR memiliki kewenangan mutlak untuk memberhentikan pimpinan lembaga-lembaga ini tanpa proses hukum yang jelas, maka hal ini berpotensi merusak independensi lembaga tersebut. Oleh karena itu, mekanisme pemberhentian harus tunduk pada aturan hukum yang lebih tinggi, seperti ketentuan dalam konstitusi UUD 1945 atau undang-undang yang secara eksplisit mengatur proses pemberhentian pimpinan lembaga tinggi negara (Ridwan HR. (2018). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada.)

Sebagai solusi, sistem ceck and balance harus diterapkan dengan prinsip kehati-hatian dan keadilan. Jika DPR ingin memiliki kewenangan dalam memberhentikan pimpinan lembaga tinggi negara, mekanismenya harus melibatkan lebih dari satu lembaga guna memastikan bahwa keputusan tersebut tidak bersifat politis atau subjektif. Salah satu alternatif yang bisa dipertimbangkan adalah pembentukan mekanisme hukum yang melibatkan Mahkamah Konstitusi atau Dewan Kehormatan yang independen dalam menilai apakah seorang pimpinan lembaga tinggi negara layak dicopot atau tidak (Peter Mahmud Marzuki. (2019). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana).

Dengan demikian, kewenangan DPR dalam mengevaluasi dan memberhentikan pimpinan lembaga tinggi negara harus tetap berada dalam koridor prinsip check and balance . Sistem ketatanegaraan Indonesia harus menjamin bahwa semua keputusan yang berkaitan dengan pemberhentian pejabat tinggi negara dilakukan secara objektif, transparan, dan berdasarkan hukum yang berlaku. Jika tidak, maka mekanisme ini justru bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik, yang pada akhirnya merusak keseimbangan kekuasaan dalam sistem demokrasi Indonesia.

Ikuti Seribuparitnews.com di GoogleNews

Berita Lainnya

Index