Menimbang Pemakzulan Wakil Presiden Dalam Perspektif Filsafat Hukum

Menimbang Pemakzulan Wakil Presiden Dalam Perspektif Filsafat Hukum

Oleh: Jamri, S.H., M.H.
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UNJA Jambi dan Dosen Pengajar Filsafat Hukum dan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UNISI Tembilahan

Usulan pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang disuarakan Forum Purnawirawan Jenderal TNI tidak semata reaksi politis sesaat. Ia mencerminkan kegelisahan mendalam terhadap kondisi etika kekuasaan dan legitimasi hukum dalam praktik ketatanegaraan. Fenomena ini membuka ruang refleksi filosofis yang lebih luas: apakah kekuasaan yang diperoleh melalui prosedur yang sah namun cacat etik masih layak dipertahankan dalam kerangka negara hukum dan demokrasi konstitusional?

Pasal 7A UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan bahwa presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Frasa “perbuatan tercela” merupakan pintu masuk bagi pendekatan filsafat hukum, karena ia melibatkan pertimbangan etis yang tidak selalu terformulasi dalam hukum positif.

Filsafat hukum ketatanegaraan menempatkan hukum tidak semata sebagai kumpulan norma, tetapi sebagai ekspresi nilai dan rasionalitas publik. Hans Kelsen dalam teori normatifnya menyusun hukum secara hierarkis dari norma dasar (grundnorm) hingga norma konkret. Namun, apabila proses politik melahirkan norma yang bertentangan dengan nilai moral dasar, maka struktur normatif tersebut rapuh dari dalam.

Kontroversi pencalonan Gibran pasca-putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 menjadi contoh nyata. Putusan ini dinilai membuka jalan baginya melalui revisi batas usia calon presiden/wakil presiden dengan tambahan frasa "pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah." Keterlibatan Anwar Usman, selaku paman kandung Gibran dan Ketua Mahkamah saat itu, yang kemudian terbukti melanggar etik, merusak integritas institusi konstitusional. Secara filsafat, ini menunjukkan celah antara legalitas prosedural dan legitimasi moral. Lon L. Fuller menegaskan bahwa hukum harus memenuhi moralitas internal, seperti konsistensi, keterbukaan, dan integritas—jika tidak, maka hukum kehilangan karakternya sebagai sistem etis (Fuller, The Morality of Law, 1969).

Pemakzulan, dalam konteks ini, tidak semata tindakan politik, melainkan mekanisme etis untuk memulihkan otoritas moral konstitusi. Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa “perbuatan tercela” mencakup tindakan tidak patut secara moral dan publik, meskipun belum tentu melanggar hukum pidana. Artinya, legitimasi pejabat negara juga bergantung pada persepsi etis masyarakat dan nilai luhur konstitusi (Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, 2006).

Lebih lanjut, Ronald Dworkin mengingatkan bahwa tafsir terhadap hukum harus mencerminkan prinsip moral terbaik yang dapat membenarkannya. Hukum, kata Dworkin, bukan sekadar hasil dari sistem prosedural, tetapi harus mengandung keadilan substantif (Dworkin, Taking Rights Seriously, 1977). Maka, dalam kasus Gibran, pemakzulan dapat dibaca sebagai langkah moral untuk menghindari preseden buruk bahwa kekuasaan dapat direkayasa melalui celah hukum dan konflik kepentingan.

Konsep etika kekuasaan yang dikembangkan oleh Jimly Asshiddiqie juga menjadi relevan. Etika konstitusi merupakan bentuk kontrol moral terhadap penyalahgunaan legalitas formal. Ketika prosedur hukum dimanipulasi untuk kepentingan individu atau kelompok, maka hukum tidak lagi mencerminkan nilai keadilan (Jimly Asshiddiqie, Etika Konstitusi, 2005). Di sinilah pemakzulan menjadi wujud koreksi terhadap distorsi etika kekuasaan.

Usulan Forum Purnawirawan Jenderal TNI bukan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi, tetapi justru refleksi dari constitutional morality. Negara hukum sejati bukan hanya menegakkan hukum secara tekstual, tetapi juga menjunjung nilai-nilai etik dan keadilan substantif. Seperti Plato tegaskan dalam The Republic, keadilan dalam negara hanya dapat terwujud bila pemimpin dijalankan oleh mereka yang berjiwa etis dan mengabdi kepada kebenaran, bukan sekadar mengejar kekuasaan.

Dengan demikian, pemakzulan terhadap Gibran patut dipertimbangkan bukan sebagai serangan terhadap sistem, tetapi bisa dilihat juga dari sisi sebagai upaya menyelamatkan marwah konstitusi dari dugaan manipulasi kekuasaan. Pemulihan etika adalah prasyarat mutlak bagi keberlangsungan negara hukum yang adil dan demokratis.

Ikuti Seribuparitnews.com di GoogleNews

Berita Lainnya

Index